[googlef074d64e99d80ece.html]

Rabu, 05 Februari 2014

Hati-hati Dengan Pernikahan Dini



Kehidupan cinta sering menjadi sebuah trek yang melelahkan untuk dilalui, berliku, mendaki, terjal dan penuh tantangan. Tak jarang membuat mereka yang tak sanggup melaluinya terpaksa mundur, bukan hanya itu, banyak yang jatuh dari tebing dan tergeletak. Betapa menyakitkan memang jika kita tidak sanggup menggapai cinta yang sudah diidamkan. Ibarat menantang terjalnya dakian, hanya orang yang benar-benar telah mempersiapkan dirilah yang mampu menghadapinya. Menghadapi dalam artian bukan hanya berhasil meraihnya, namun mereka benar-benar mempersiapkan diri. Orang yang tahu bagaimana rasanya mendaki sebuah tebing, sangat paham kapan waktunya untuk mundur, sebelum mereka benar-benar jatuh.

Bagi sebagian orang gunung adalah keindahan yang ingin ia sentuh, betapa menakjubkan mereka memandangnya dari kejauhan. Keindahan itu menggoda mereka untuk datang ke sana, menikmatinya. Namun godaan untuk menikmati keindahan gunung itu sering membuat manusia lupa betapa gunung itu dihuni oleh berbagai tumbuhan liar yang bisa menghambat, di dalamnya hidup berbagai makhluk yang bisa membahayakan. Mereka terkecoh oleh indahnya gunung dari jauh.

Banyak orang yang merindukan pernikahan, merindukan kekasih untuk mendampingi hidup menjalani kehidupan. Mereka memandang pernikahan itu begitu nikmat untuk dijalani dan dimiliki. Seperti keindahan sebuah gunung, pernikahan itu sering menjadi sebuah pemandangan yang cukup menggairahkan untuk segera dinikmati. Tanpa menyadari betapa banyaknya tantangan yang harus dihadapi saat menjalaninya. Maka tidak sedikit orang yang gagal karena di tengah jalan, bahkan masih di kaki bukit pernikahan.

Orang-orang sering lupa bahwa menjalani pernikahan itu adalah kebahiaan tiada tara, asal sudah berdua maka tidak akan ada lagi kesusahan. Betapa menyenangkan membayangkan kita berdiri di puncak gunung, memandang luas keindahan di bawahnya dan berteriak sekuat-kuatnya. Sungguh indah. Apa yang paling indah selain membayangkan tiap hari ketemu dengan orang yang kita cintai, bersam-sama tinggal dalam satu rumah, saling memanja.

Maka mereka yang tak sabar segera memutuskan untuk pacaran lalu menikah, mereka sungguh merasa bahwa diri mereka sangat siap. Modalnya adalah saling mencintai. Mereka merasa bahwa taka ada yang bisa menandingi cinta, tak ada yang bisa memisahkannya. Dimulailah perjalanan bersama oleh sepasang kekasih yang dilanda asmara. Apa yang terjadi di dalam perjalanannya sangat mudah ditebak. Indah, menyenangkan menikmati cinta berdua, tak ada yang bisa menggantikannya, tapi hanya bertahan seumur jagung.

Pengenalan yang dangkal
Karakter yang bertentangan mulai terlihat sebab mereka tidak mempersiapkan diri sebelum bepergian, mereka berpikir perjalanan hanya sehari, seminggu, setahun, atau lima tahun. Mereka berpikir jalanan lurus dan datar, mereka tidak menjalani latihan fisik sebelumnya sehingga mereka kebal, mereka tidak memeriksa diri sebelum berangkat.

Diperlukan latihan fisik sehingga kita benar-benar fit saat akan mendaki sebuah gunung, perlu memeriksa kondisi kesehatan kita sebelum bepergian jauh. Pasangan yang menikah tanpa mengenal diri mereka masing-masing, sangat rentan terhadap kehancuran. Bukan tantangan dari luar yang membuat mereka terpecah, tapi dari dalam diri mereka sendiri. Sebab mereka belum saling mengenal secara mendalam, usia pacaran mereka cukup singkat. Dalam perjalanannya mereka juga hanya menunjukkan sifat-sifat pribadi yang baik kepada kekasihnya. Sehingga ketika mereka menikah, keburukan-keburukan mulai terlihat. Apa yang terjadi? Mereka terkejut, tak menyangka pasangannya ternyata tidak seperti yang mereka lihat sebelum mereka menikah. Pengenalan mereka sangat dangkal.

Dunia ini bukanlah milik berdua
Orang yang dilanda cinta memang merasa bahwa dunia ini hanya milik berdua, yang lain ngontrak. Hal tersebut ada benarnya, namun hanya berlaku sebentar ketika gelora cinta pada posisi yang masih membara. Ketika sudah menikah, maka yang ada memang hanya aku dan pasanganku, tidak bisa lagi ada yang lain mengisi. Tapi berapa banyak pria atau wanita yang menyesal setelah menikah? Melihat bagaimana sebenarnya “asli” dari pasangannya setelah keburukan-keburukannya keluar, tak sedikit yang merasa telah salah menilai selama ini. Ternyata dia tak sesempurna yang diduga.

Hal inilah yang menimbulkan godaan untuk “melihat” ke luar, mencari yang lebih baik, mencoba memuaskan emosi yang terkejut karena sudah salah menilai. Awalnya memang mereka hanya melihat-lihat dan berkata “harusnya seperti yang ini” ketika mereka melihat seseorang di luar sana. Jika mental atau emosi tidak kuat untuk ditahan, maka tidak jarang mereka akan mencoba-coba melupakan status mereka yang telah menikah. Hal yang mulai muncul adalah bentakan yang kemudian meningkat menjadi kekerasan dalam rumah tangga. Maka dunia bukan lagi milik anda berdua.

Bukan berarti gunung tidak indah
Jika kegagalan dalam pernikahan telah dialami, saat itulah mereka mengatakan betapa pernikahan itu menyakitkan, betapa pernikahan itu tidak indah. Harusnya, pernikahan itu indah dan menyenangkan. Sebab kita tidak lagi sendiri menjalani hidup, tidak lagi sendiri mengerjakan segala sesuatu, sendiri memikirkan sesuatu, harusnya hidup semakin maksimal setelah menikah. Hanya saja kita sering tidak berhasil mencapai keindahan pernikahan itu karena kita tidak mempersiapkan diri untuk meraihnya. Bekal kita sangat minim sehingga tak cukup untuk menikmati betapa baiknya cinta yang menyatu dalam pernikahan itu dirancang oleh yang Maha Kuasa.

Jika ada orang yang meninggal karena jatuh dari tebing saat mendaki gunung, bukan berarti gunung itu tidak lagi indah. Akan tetapi kesiapan si pendakilah yang kurang sehingga ia tidak sanggup mencapai puncak. Kegagalannya menghadapi tantanganlah yang membuat ia tidak berhasil menikmati keindahan gunung itu. Demikian halnya pernikahan, pasti indah.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar