[googlef074d64e99d80ece.html]

Kamis, 01 Agustus 2013

SIRINE


Dari kejauhan terdengar suara itu, melengking tajam menusuk telinga, kian lama kian dekat suara itu membuat bulu-bulu di sekujur tubuh merinding. Nada sendu itu membawa bayangan kematian di tempat yang dilaluinya. Perlahan ambulance itu berhenti tepat di depan rumah Balotelli, dengan polos anak itu menirukan suara sirene sambil menarik tali pengikat mobilannya. Anak itu begitu riang.
Balottelli sedang asik memainkan mobil-mobilan kayu buatan ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar di sebuah panglong di kampungnya. Balo sangat membanggakan mobil buatan ayahnya itu, selain karena ukurannya besar juga memiliki warna yang sangat disukai Balo, biru muda. Kakanya Irina sedang memanaskan air mandian untuk Balo sore itu sesuai jadwal yang ditetapkan oleh ibunya, Balo harus mandi pukul empat sore.
Semua orang tersita oleh tingkahnya yang lucu tak membuat tawa justru menambah lara. Terlihat ibu Shakira mengenakan tudung hitam hampir menutupi wajahnya, dua sisi tudung dipegang tangan kanannya mengepal bibirnya. Duka jelas menghujam jiwanya, matanya bagai buta karena lelah sudah meratap. Peti itu digotong  dari dalam mobil disambut histeris khalayak yang membatu. Irina memecahkan langit dengan histeris tangisnya yang tak terhalang. Bukan main sedihnya.
Orang-orang berdesakan dalam rumah sempit berdinding tepas dengan lantai tanah yang sederhana itu.
tengok suara mobilku sama kayak mobil itu” Balo menirukan suara sirene membuat semua orng makin menangis. Irina memeluk adiknya itu kuat-kuat, dengan tangisan pilu yang sangat dalam tak terukur.
“Bapak kok diantar rame-rame pake mobil itu, kenapa gak pake mobil Balo aja?” ah, mulut polos ini tak bisa dihentikan membuat duka semakin dalam.
“Kakak kenapa nangis, kata mama kalau sudah besar gak boleh nangis, Balo aja ga nangis
Semua orang memandangi Balo dengan tangan di mulut, masing-maing menahan pecahnya histeris. Shakira yang sudah lelah menangis seperti tak sanggup lagi, tak kuat lagi, kini ia kehabisan tenaga, air matanya pun sudah tiada, kering sudah memenuhi lautan.
“Bapak kenapa diam aja?” Balo bertanya pada kakanya Irina.
“Bapak lagi bobo sayang” kata Irina tersendat.
Balotelli memandangi wajah ayahnya yang sudah tak bernyawa itu, kaku membujur di tengah gubuk kecil buatan tangannya dua tahun lalu. Kemudian mendekati tubuh yang terbaring tenang sambil memeluk mobilan di dadanya, dengan jari telunjuknya yang lembut dan mungil ia menikam-nikam pipi pucat ayahnya.
Balo ingin mengajak ayahnya main mobil-mobilan seperti biasa mereka lakukan setiap sore setelah ayahnya pulang kerja.
“Papa bangun, ayok main mobilan” katanya lirih, menyaksikan itu ibunya makin menangis tak karuan, ia menyandarkan kepalanya ke dinding anyaman bambu disampingnya. Tak ada yang bisa dikatakan, tak juga terjelaskan tak juga sanggup untuk mengatakan kebenaran kalau suaminya sudah meninggal, anak sekecil itu terlalu dini mendengarnya.
“Lihat anakmu ini, dia mengajakmu main-main.....” Shakira menangis dengan nada duka terlantun dari kerongkongannya yang sudah mengering, suaranya hampir tak terdengar lagi, habis sudah.
“uiu..iu..iuuu...uiu..iu..” Balo memainkan lagi mobilnya.
Irina tak tahan melihat tingkah adik kecilnya itu, ia memalingkan wajahnya, ia menagis sejadi jadinya, membentak kejamnya maut telah menjemput pahlawannya. Ia tak rela ayahnya tiada, ayah yang mengasihinya, ayah yang memperjuangkannya sekuat daya.
“Mobilku ini mobil uiu iu namanya” kata Balo lagi, sungguh anak itu tidak mengerti apa yang terjadi, anak itu tak menyadari ayahnya sudah pergi. Tapi baginya mobil itu adalah segalanya.
Suasana mulai hening setelah anak itu lelah bercanda dengan mobilnya selelah ibunya menahan duka lalu tertidur nyenyak di pangkuan Shakira.
__o__
Sudah tiga hari setelah jenazah Drogba dikebumikan rumah masih terasa sepi, tidak ada tanda kehidupan bagai suri. Shakira dan irina masih dirundung pilu yang tak sudi ditinggal suami dan ayah pergi. Irina menyemangati ibunya untuk makan nasi telor ceplok dihadapannya, sudah dua hari tak menyentuh makanan sore itu.
Ia begitu terpukul ditinggal kekasih yang sangat dicintainya lahir batin, sungguh tak ada yang dapat menggantikan sosok jenderal poros berputarnya roda hidup di rumahnya. Setelah enam bulan berjuang melawan  virus yang menggerogoti paru-paru yang didapatnya dari abu kayu di pertukangan.
Semakin timpanglah kini putaran roda nasib setelah salah satu tak lagi berguna, yang dulunya sudah sulit, kini makin terhempit, Shakira hanya tukang cuci di warung nasi terminal bus di kota kecil itu untuk menambah pemasukan keluarga.
Ditatapnya anak-anak cantik dan ganteng itu penuh lara, ia begitu berduka membayangkan hari depan mereka.
Tahun ini Irina akan masuk SMA, darimana biaya untuk menyekolahkannya. Dulu Drogba menolak keluarga dekat yang ingin membawa Irina ke Jakarta untuk disekolahkan. Baginya melepaskan anaknya pergi untuk disekolahkan orang menyangkut harga diri.
“Kau pikir aku tak sanggup membiayai sekolah anakku?” katanya waktu itu.
Sosoknya begitu tegas, pekerja keras dan lugas. Dulu mereka sebenarnya tinggal di Pekanbaru, Drogba bekerja  di salah satu perkebunan sawit sebagai mandor, sayang ia harus pulang kampung karena dipecat dengan alasan melawan kebijakan atasan menggelapkan tandan berimbas fitnah.
Balotelli melonjak kegirangan mendengar suara motor butut pak Wenger tetangganya yang baru pulang kerja sebagai tukang angkat di gudang pupuk pak Anelka samping ayahnya bekerja. Biasa Drogba nebeng pulang dengan Wenger tiap sore.
“Ayahku mana?” Balo bertanya pada pak Wenger. Tak dilihatnya bapaknya di boncengan Wenger seperti biasanya. Wajar saja ia selalu menanti ayahnya, sore adalah waktu singkat khusus untuk mereka berdua, pagi sebelum Balo bangun, Drogba pasti sudah tak dilihatnya. Embun belum lenyap ia sudah berangkat dibonceng Wenger ke tempat kerja yang berjarak lima kilometer dari rumah.
Pak Wenger memandang Shakira yang berdiri lesu dibelakang Balo, lidahnya bagai bertulang tak tahu menjawab pertanyaan anak kecil yang menantikan ayahnya bermain mobilan. Wenger turun dari motor honda 70 yang suaranya bagai bebek dikejar anjing itu.
Diraihnya anak bungsu sahabat baiknya itu lalu dirangkul erat bagai anak sendiri. mereka memainkan mobil-mobilan seperti biasa dilakukan sahabatnya Drogba ketika mereka tiba di rumah, tentu Wenger sudah hapal.
Shakira hanya memperhatikan dari jauh dengan kelopak matanya yang sayu, anak itu kegirangan karena Wenger cukup lihai memperagakan kehadiran Drogba sahabatnya. Senyum Shakira dingin, memang tak bisa dipaksakan mengikuti ceria anaknya.
Fanni istri Wenger datang menghampiri Shakira, mencoba menemani wanita lemah itu menikmati senja, barangkali bisa sedikit memulihkan lara tetangga karibnya.
__ o __
Irina tetap melanjutkan sekolah ke SMA, ini adalah bulan kedua setelah ia masuk. Ibunya berjanji akan memperjuangkan nasibnya paling tidak hingga lulus SMA. Shakira tetap bekerja sebagai tukang cuci piring di terminal bus, tentu karena tak ada pilihan lain. Malamnya ia pulang membawa makanan sisa yang tidak habis terjual ke rumah untuk kedua anaknya. Dengan bijak ia menyisihkan ikan untuk besok pagi dipanaskan.
Balotelli tiap hari dititipkan kepada Fanni yang bekerja sebagi penjahit kecil-kecilan, baginya menjaga Balotelli dan satu anaknya yang masih kecil bukan masalah, malah senang karena Zeko anaknya  punya teman bermain. Mobil kesayangannya adalah teman yang tidak terpisahkan dari hari-harinya, mobil itulah yang membuatnya betah ditinggal ibunya sepanjang hari.
Pulang sekolah Irina langsung ke toko kelontong pak Mourinho yang menjadi pemasok barang dagangan ke warung-warung kecil di kota itu. Dorongan iba memotori kehendak pak Mourinho mempekerjakan Irina untuk menambah pendapatan keluarga, sekaligus menghemat karena siangnya Irina boleh makan siang disana. Baju ganti selalu dibawanya ke sekolah sehingga tidak perlu pulang dulu ke rumah sebelum kerja.
Tiap sore Irina pulang bersama ibunya sebelum senja, tiap sore mereka akan menemui Balotelli asik bermain mobilan bersama Wenger yang kini menggantikan peran sahabatnya Drogba. Beruntung sekali Shakira memiliki tetangga seperti Wenger, sahabat suaminya. Walau tak bisa mengambil peran sebagai suami, baginya sudah cukup kehadiran Wenger untuk si kecil Balo, Fanni juga tak keberatan suaminya menemani Balo tiap sore main mobilan bersama Zeko.
Sore itu Shakira tiba di rumah bersama Irina membawa bungkusan nasi, Irina membawa kerupuk yang diberikan Mourinho untuk adiknya. Sungguh mereka senang menikmati makanan yang disedekahkan oleh majikan-majikan yang mengerti nasib keluarga kecil ini.
“Mak, ternyata uiu iu yang membawa bapak itu sirine namanya” kata Balo sambil menunjukkan sisi bak mobilannya terukir tulisan MOBIL SIRINE yang ditulis dengan spidol oleh Fabregas abang Zeko yang kelas enam atas permintaan Balotelli.
Shakira tersenyum tapi matanya berkaca sambil merangkul anak bungsunya yang manis itu, dibelainya kepala mungil anak itu dengan mesra. Terlalu dini ia kehilangan sosok ayah yang masih dibutuhkannya dalam waktu lama.  
Mobil Sirine inilah yang menjadi teman Balotelli tiap hari, ia tumbuh bersama mobil buatan tangan ayahnya, kehadiran mobil ini seperti mewakili sosok Drogba dalam nadinya. Mobil itu tidak pernah lepas dari sisinya, Balo menjaga mobil sirine bagai ibunya menjaganya, tak terpisahkan mereka.
Kehadiran Mobil Sirine ini pulalah yang menyulut semangat Shakira untuk menjalani hari-harinya, memperjuangkan kedua anaknya. Suami yang dirindukannya terasa dalam semangat Balotelli tiap hari menirukan suaranya. Ia kini bisa melepas pergi Drogba, ia bahagia bersama Irina, Balotelli dan Mobil Sirine suaminya.
“Ma, nanati kalau Balo udah besar, mau jadi sopir mobil Sirine”
Shakira terbangun. Dilihatnya Drogba mendengkur.



Senin, 29 Juli 2013

Setitik Harapan


Dosa memang tidak membedakan siapa yang menjadi sahabatnya, tak seperti kebanyakan orang hanya mau berteman dengan orang yang disukainya saja. Baik kaya atau miskin sama saja baginya, seperti aku yang tetap setia didampinginya kemana saja aku melangkah. Hingga kini kenikmatan yang terlanjur kucicipi belum bisa kuhentikan, malah makin menjadi.
Jika harus dihitung jumlahnya barangkali berlaksa-laksa tak terhingga, aku kini melangkah menuju lubang gelap gulita yang menganga siap menelan jiwa yang kini sesat tak tahu jalan kembali pulang.
Semakin aku dihantui rasa takut akan kekalnya hukuman maut bagi para pendosa yang tidak mau taat pada Raja. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh agar mendapat maaf setitik dari-Nya. Saat aku mencoba mencari cara dengan berbagai perbuatan baik yang ditawarkan beberapa orang, lagi-lagi aku tidak yakin dengan jalan ini.
Kata mereka cukup dengan berbuat segala kebaikan, rajin beribadah dan berbuat amal akan membayar setiap kesalahan sehingga kita akan layak masuk dalam kehidupan kerajaan sorga kelak.
Tapi apa memang aku akan cukup sanggup membayar semua dosaku dengan berbagai perbuatan mulia di dunia ini? Andai juga aku bisa memberikan seluruh dunia untuk kupersembahkan, pastilah tidak cukup untuk membayar dosa yang telah kuperbuat dari sejak aku mengenal dunia dan nikmatnya.
Lalu bagaimana jika hidupku berakhir sebelum aku berhasil membayar semua itu dengan kebaikan dan amal?. Ini adalah tanda tanya besar yang menindih punggungku sehingga aku tak sanggup melangkah dengan tegap. Kertas putih tak lagi putih, hampir hitam malah. Dan mungkin tidak akan pernah menjadi putih hingga akhirnya dibuang ke dalam api yang menyala.
Perlahan dari sudut ujungnya dibakar, lalu pelan-pelan menjalar menuju permukaan, merambat lagi perlahan hingga ujung yang lain, ia musnah menjadi wujud abu yang sedikit demi sedikit, dari ujung sudut tersobek oleh tiupan angin sepoi. Makin jauh koyakan itu makin lebar, perlahan-lahan menjadi koyakan-koyakan kecil dan menjelma menjadi butiran-butiran pasir dan makin halus terkikis angin menjadi debu. Kian dihempas menjadi angin menyatu dengan alam tak terlihat. Nasib anak manusia.
Langkah yang kuayun tetap saja tanpa tujuan yang berarti jika akhirnya aku mencapai keberhasilan seperti cita-cita seluruh keluargaku namun jiwaku binasa pada akhirnya karena dosa. Iblis telah membawaku jauh ke dalam komunitas yang digagasnya untuk membentuk sebuah kerajaan bawah tanah.
Pagi ini aku mendapatkan secarik kertas kecil warna hijau tipis, terlihat hasil lipat ganda dengan mesin foto copy, pesannya singkat saja, mengundang mahasiswa Kristen untuk hadir dalam persekutuan Jumat pukul 11.40 di gedung aula.
Tak ada juga salahnya jika kucboa menghadirinya barangkali bisa membersihkan diriku yang kotor oleh dosa, hampir berdiri di pinggir jurang dan sekali senggol akan jatuh tak tertolong. Kumandang pujian mulai dilantunkan oleh singer menunggu para undangan memenuhi ruangan, aku berjalan masuk perlahan dan kalam, mencari tempat duduk paling nyaman. Di belakang tentunya.
Aku menyimpulkan orang-orang yang biasa duduk paling depan adalah mereka yang hidupnya kudus dan tentu sangat disayang oleh Tuhan. Ketika aku mulai menikmati suasana, olok-olok menggema dalam pikiranku, aku digoda lagi untuk melihat dan membayangkan kaum hawa yang ada disana menjadi wanita-wanita malang yang ada di Youtube. Aku kalah, dan ingin keluar dari dalam ruangan ini, tapi terlanjur aku duduk dan ibadah dimulai oleh MC. Iblis mencoba membangun tembok yang menghalangi diriku untuk mendengar dan melihat pujian dan kesaksian dilantunkan.
Aku mencoba menaiki tembok itu sekuat tenaga, dengan kemampuan memanjat yang kupelajari semasa di kampung. Semakin aku berusaha semakin kuat pula ia menarik kakiku, berulang aku terhempas jatuh ke tanah yang kotor, berlumpur penuh noda, bajuku kini kumal tak lagi layak masuk dalam kerumunan itu. Mereka menertawaiku karena aku kotor, hina, bau, dan tidak layak ada disana. Tapi aku meronta paling tidak aku bisa mengintip dari tembok sejauh jangkauan mataku, aku berusaha menjinjit, hanya sedikit yang dapat kudengarkan pujian itu, hanya pantulan suara yang tidak jelas. Yang bisa ditangkap oleh biji mataku hanyalah ujung rambut pria yang bernyanyi di depan pemain musik itu.
Hingga akhir ibadah aku berdiri dengan kaki gemetar karena lelah menjinjit, mataku yang hampir dua jam melotot terasa pegal, rasanya seperti ingin keluar melompati tembok pemisah. Air mataku pecah membanjiri tempatku berdiri, hingga aku hampir tergenang menggigil kedinginan tak tertahankan. Tulang-tulangku melemah, tanganku yang dari tadi mencengkeram tembok mulai kaku dan mengeras tak bisa kugerakkan.
Nafasku tersengal dalam dada yang mulai sesak, kini aku mulai merasakan jemputan ajal memanggilku untuk segera bersamanya. Tak ada harapan bagi pendosa sepertiku. Lalu aku keluar dengan mulut gemetaran gigiku gemertak beradu tak bisa kukendalikan, sarafku lumpuh.
Aku terkapar dalam terik matakari mencari harapan, bila tubuh beku itu akan mencair oleh surya, perlahan tubuhku menghangat mulai dari ujung jari kakiku, perlahan ia mengalir dalam kulit-kulit ari dan makin dalam ia mendidihkan darah kemudian tulang-tulang dan sum-sum di dalamnya. Daging busuk itu mulai bernyawa lagi, mulai ia melangkah lagi.

Lalu diujung sana aku melihat sosok pria sedikit tua dan terlihat lelah dan kumal, mungkin akan mati, aku menghapiri sosok itu, tak jelas wajahnya. Dia tersenyum bahagia walau nyawanya hampir melayang, tapi kebahagiaan itu nyata. Aku bertanya apa yang anda tertawakan?  Lalu katanya, “selamat datang anak-KU” nafas-Nya berhenti.