[googlef074d64e99d80ece.html]

Sabtu, 06 Oktober 2012

FANATISME MARGA, PEMBANGUNAN TUGU MENGIKIS DALIHAN NATOLU


Benyaris A Pardosi


Batak dan Kekayaannya

Bangso Batak adalah suatu sebutan yang menunjukkan betapa besarnya suku batak sebagai salah satu suku di Indonesia. Orang Batak telah tersebar meluas di seluruh wilayah Indonesia bahkan dunia. Kemampuannya untuk beradaptasi dalam mempertahankan hidup merupakan suatu sikap yang patutu diacungi jempol. Batak dalam kesatuannya sebagai masyarakat yang beradat dikenal dengan semboyan dalihan natolu (manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula). Ini menjadi sebuah pesan yang patut untuk dipertahankan karena mengandung makna yang sangat kaya untuk dihidupi secara turun temurun. Semboyan ini adalah darah persatuan yang mengalir dalam denyut nadi orang-orang batak, mudar parsadaan ni holong, dohot dame. Dalam semboyan ini mengalir darah persatuan yang mengikat seluruh keturunan suku batak sehingga mereka akan tetap bersatu teguh kapan dan dimana-pun berada. Semboyan ini memampukan orang batak untuk melihat posisinya dalam adat. Mungkin dia sebagai dongan tubu, boru atau hula-hula, dengan demikian tiap orang mampu mengambil peran masing-masing dalam acara adat. Keberagaman marga-marga yang ada adalah sebuah kekayaan yang menunjukkan betapa banyaknya keturunan orang batak. Adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh orang batak. Tanpa adat, orang batak tidak hidup. Adalah sangat memalukan apabila seseorang dalam keluarga suku batak tidak ikut terlibat dalam adat orang batak, orang tersebut akan mendapat panggilan “na so maradat”.

Tugu dan Fanatisme Marga

Tugu sebagai suatu ciri tempat tinggal orang batak adalah sebuah seni yang sangat khas. Besar dan kemegahan tugu yang dibangun seolah-oleh menjadi sebuah simbol kemakmuran keturunan marga yang mendirikannya. Dalam pendirian tugu tentu semua pihak memberi kontribusi masing-masing, maklum dana yang dibutuhkan tentu tidaklah sedikit. Tidak mau kalah setiap marga berlomba-lomba untuk membangun tugunya masing-masing. Setelah selesai mendirikan tugu mereka mengadakan pesta parsadaan dengan memotong kerbau dan babi (sigagat duhut dohot namarmiak-miak) diiringi dengan musik batak (gondang batak) dan manortor. Betapa indahnya kebersamaan dalam pesta syukuran tersebut, makan bersama, tertawa bersama dan adanya kepuasan tersendiri dengan berdirinya tugu kebanggaan. Semangat gotong royong untuk mempersiapkan pesta terlihat begitu indah dan patut untuk diteladani. Semua orang tidak mau tinggal diam tanpa mengambil peran untuk pelaksanaan pesta..
Semakin banyak dan semakin meluasnya orang batak yang tinggal di bona pasogit dan di perantauan adalah suatu hal yang sangat kita syukuri. Orang-orang yang tinggal di bona pasogit tentu masih sangat kental dan dekat dengan dongan tubunya masing-masing. Sementara orang-orang yang sudah tinggal di perantauan memiliki komunitas marga yang sama terbilang sedikit. Sehingga mereka banyak yang mencari teman-teman perantau yang memiliki marga yang sama, dan membuat kumpulan kebersamaan. Maka lahirlah parsadaan-parsadaan marga tertentu, misalnya parsadaan boru bere marga X. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi kita sebagai orang batak yang mewarisi titipan orang tua, yaitu pesan manat mardongan tubu. Mencari dongan tubu sebagai tempat untuk berbagi, tempat untuk saling mendoakan dan saling mendukung. Sementara di bona pasogit banyak yang bersepakat untuk membangun tugu sebagai simbol persatuan marga.
Secara bersama-sama mereka mengumpulkan dana bagi pelaksanaan pembangunan tugu tersebut. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya semangat gotong royong dalam suku batak. Namun satu hal yang menyedihkan adalah lahirnya pemahaman yang janggal dalam adat istiadat orang batak, saya tidak tahu persis apakah memang demikianlah diturunkan dari dulu oleh nenek moyang. Banyaknya orang batak yang tidak mengetahui silsilahnya, sehingga terjadilah perebutan kedudukan dalam acara adat, perebutan jambar salah satunya. Hal ini sering memicu terjadinya pertiakaian diantara dongan tubu. Tidak sedikit yang bertikai dengan masalah jambar, gugu (kontribusi berupa uang atau beras/padi), bahkan berbagai ketidakpuasan. Malah ada juga marga yang mengalami perpecahan karena adat istiadat batak. Adat seolah tandingan agama yang harus dilakukan, pelaksanaannya yang sakral seolah-olah menjadi sebuah harga yang tidak bisa ditawar tawar. 

“Monumen” Hidup

Kebanggaan sebagai orang batak, kebanggaan sebagai bagian dari marga tertentu dituangkan dalam sebuah monumen megah yang berdiri atas kerjasama seluruh pihak. Ketika orang lain berkunjung ke bona pasogit, mereka akan menyaksikan monumen-monumen yang bertuliskan marga pendiri tugu tersebut, dengan demikian mereka akan mudah mengetahui marga apa yang mendiami daerah yang mereka kunjungi. Banyak yang kagum menyaksikan hal tersebut, mungkin mereka akan berpikir betapa kayanya orang batak. Namun kenyataan yang terjadi adalah ternyata masih banyak rumah-rumah orang batak yang tidak memadai, banyak anak-anak orang batak yang tidak sekolah karena tidak mampu dalam dana, banyak anak-anak yang kurang gizi karena ekonomi lemah. Mengapa untuk mendirikan tugu orang batak bisa bersatu mengumpulkan milyaran dana, sementara untuk membantu dongan tubu, boru, hula-hula tidak bisa..??. Tugu hanyalah monumen mati yang hanya akan melahirkan kesombongan. Kenapa dana pembangunan tugu tidak disisihkan untuk membantu saudara-saudara yang tidak mampu,,??. Memodali mereka untuk membuka usaha, menyekolahkan anak-anak, memberi makan yang kekurangan, membangun sarana pendidikan. Bukankah itu adalah tugu yang hidup.??.
Adat adalah ciptaan manusia, adat lahir dari kebiasaan manusia. Adat ada untuk manusia, bukan manusia untuk adat. Jika adat telah menjadi pemecah bagi orang batak, mungkin kita perlu meninjau  kembali adat yang sedang kita kerjakan. Saya percaya nenek moyang kita tidak mengajarkan perpecahan. Saya percaya mereka merancang semboyan Dalihan Natolu dengan matang-matang untuk kesatuan orang batak. Jangan sampai adat memperbudak orang batak, biarlah kita yang menguasai adat tersebut. Saya percaya bukan adatnya yang salah, tapi kitalah yang sering salah memahami dan menerapkannya.
Kita punya Tuhan atas segenap, termasuk atas adat. Jangan sampai iblis mempergunakan adat sebagai kesempatan untuk memecah belah.
Mazmur 133:1 Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.
Psalmen 133:1 Ende hananangkok sian si Daud. Ida ma, dengganna i dohot sonangnai, molo tung pungu sahundulan angka na marhahamaranggi! Songon miak na hushus di ulu pola mabaor tu mise, tu mise ni si Aron, pola mabaor sahat tu rambu ni angka ulosna.Songon nambur ni Hermon, na mabaor tu angka dolok Sion, ai disi do diparbaga Jahowa pasupasu, hangoluan sahat ro di salelenglelengna.
Menghormati pendahulu dengan membangun tugu bukanlah satu-satunya cara yang tepat. Menghormati pendahulu bisa kita wujudkan dengan kasih terhadap sesama. Saya yakin tidak ada gunanya kita mendirikan tugu yang megah namun kehidupan sesama kita melarat, kita bertengkar dan terpecah. Adat adalah sebuah seni yang layak untuk dipelihara. Namun adat bukanlah agama yang membelenggu dan memaksa kita untuk tunduk kepadanya. Sangat disayangkan juga apabila orang-orang batak di perantauan yang katanya sudah berpendidikan ikut mendukung adanya pembentukan kelompok-kelompok fanatis tertentu yang mengakibatkan perpecahan. Mari bersama memelihara adat yang benar, adat yang membangun, adat yang memajukan kehidupan orang batak. Mari membangun monumen hidup melalui pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana. Bukan membangun menumen mati yang memberi kebanggaan sementara, monumen yang akan lapuk oleh waktu. Lihatah wajah saudara-saudara kita yang kekurangan, yang putus sekolah, yang kelaparan, yang tidur tidak nyaman karena rumah tidak nyaman. Jawabannya ada pada kita. Bangso batak, bangso na jogi, bangso na balga, bangso na marsihaholongan. Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula. Sai diramoti Tuhan ma hita ganup laho pature ture parngoluon na dumenggan.