Dosa memang tidak membedakan siapa yang menjadi
sahabatnya, tak seperti kebanyakan orang hanya mau berteman dengan orang yang
disukainya saja. Baik kaya atau miskin sama saja baginya, seperti aku yang
tetap setia didampinginya kemana saja aku melangkah. Hingga kini kenikmatan
yang terlanjur kucicipi belum bisa kuhentikan, malah makin menjadi.
Jika harus dihitung jumlahnya barangkali berlaksa-laksa
tak terhingga, aku kini melangkah menuju lubang gelap gulita yang menganga siap
menelan jiwa yang kini sesat tak tahu jalan kembali pulang.
Semakin aku dihantui rasa takut akan kekalnya hukuman
maut bagi para pendosa yang tidak mau taat pada Raja. Tapi aku tidak tahu jalan
mana yang harus kutempuh agar mendapat maaf setitik dari-Nya. Saat aku mencoba
mencari cara dengan berbagai perbuatan baik yang ditawarkan beberapa orang,
lagi-lagi aku tidak yakin dengan jalan ini.
Kata mereka cukup dengan berbuat segala kebaikan, rajin
beribadah dan berbuat amal akan membayar setiap kesalahan sehingga kita akan
layak masuk dalam kehidupan kerajaan sorga kelak.
Tapi apa memang aku akan cukup sanggup membayar semua
dosaku dengan berbagai perbuatan mulia di dunia ini? Andai juga aku bisa
memberikan seluruh dunia untuk kupersembahkan, pastilah tidak cukup untuk
membayar dosa yang telah kuperbuat dari sejak aku mengenal dunia dan nikmatnya.
Lalu bagaimana jika hidupku berakhir sebelum aku berhasil
membayar semua itu dengan kebaikan dan amal?. Ini adalah tanda tanya besar yang
menindih punggungku sehingga aku tak sanggup melangkah dengan tegap. Kertas
putih tak lagi putih, hampir hitam malah. Dan mungkin tidak akan pernah menjadi
putih hingga akhirnya dibuang ke dalam api yang menyala.
Perlahan dari sudut ujungnya dibakar, lalu pelan-pelan
menjalar menuju permukaan, merambat lagi perlahan hingga ujung yang lain, ia
musnah menjadi wujud abu yang sedikit demi sedikit, dari ujung sudut tersobek
oleh tiupan angin sepoi. Makin jauh koyakan itu makin lebar, perlahan-lahan
menjadi koyakan-koyakan kecil dan menjelma menjadi butiran-butiran pasir dan
makin halus terkikis angin menjadi debu. Kian dihempas menjadi angin menyatu
dengan alam tak terlihat. Nasib anak manusia.
Langkah yang kuayun tetap saja tanpa tujuan yang berarti
jika akhirnya aku mencapai keberhasilan seperti cita-cita seluruh keluargaku
namun jiwaku binasa pada akhirnya karena dosa. Iblis telah membawaku jauh ke
dalam komunitas yang digagasnya untuk membentuk sebuah kerajaan bawah tanah.
Pagi ini aku mendapatkan secarik kertas kecil warna hijau
tipis, terlihat hasil lipat ganda dengan mesin foto copy, pesannya singkat saja, mengundang mahasiswa Kristen
untuk hadir dalam persekutuan Jumat pukul 11.40 di gedung aula.
Tak ada juga salahnya jika kucboa menghadirinya
barangkali bisa membersihkan diriku yang kotor oleh dosa, hampir berdiri di
pinggir jurang dan sekali senggol akan jatuh tak tertolong. Kumandang pujian
mulai dilantunkan oleh singer menunggu para undangan memenuhi ruangan, aku
berjalan masuk perlahan dan kalam, mencari tempat duduk paling nyaman. Di
belakang tentunya.
Aku menyimpulkan orang-orang yang biasa duduk paling
depan adalah mereka yang hidupnya kudus dan tentu sangat disayang oleh Tuhan.
Ketika aku mulai menikmati suasana, olok-olok menggema dalam pikiranku, aku
digoda lagi untuk melihat dan membayangkan kaum hawa yang ada disana menjadi
wanita-wanita malang yang ada di Youtube.
Aku kalah, dan ingin keluar dari dalam ruangan ini, tapi terlanjur aku
duduk dan ibadah dimulai oleh MC. Iblis mencoba membangun tembok yang menghalangi
diriku untuk mendengar dan melihat pujian dan kesaksian dilantunkan.
Aku mencoba menaiki tembok itu sekuat tenaga, dengan
kemampuan memanjat yang kupelajari semasa di kampung. Semakin aku berusaha
semakin kuat pula ia menarik kakiku, berulang aku terhempas jatuh ke tanah yang
kotor, berlumpur penuh noda, bajuku kini kumal tak lagi layak masuk dalam
kerumunan itu. Mereka menertawaiku karena aku kotor, hina, bau, dan tidak layak
ada disana. Tapi aku meronta paling tidak aku bisa mengintip dari tembok sejauh
jangkauan mataku, aku berusaha menjinjit, hanya sedikit yang dapat kudengarkan
pujian itu, hanya pantulan suara yang tidak jelas. Yang bisa ditangkap oleh
biji mataku hanyalah ujung rambut pria yang bernyanyi di depan pemain musik
itu.
Hingga akhir ibadah aku berdiri dengan kaki gemetar
karena lelah menjinjit, mataku yang hampir dua jam melotot terasa pegal,
rasanya seperti ingin keluar melompati tembok pemisah. Air mataku pecah
membanjiri tempatku berdiri, hingga aku hampir tergenang menggigil kedinginan
tak tertahankan. Tulang-tulangku melemah, tanganku yang dari tadi mencengkeram
tembok mulai kaku dan mengeras tak bisa kugerakkan.
Nafasku tersengal dalam dada yang mulai sesak, kini aku
mulai merasakan jemputan ajal memanggilku untuk segera bersamanya. Tak ada
harapan bagi pendosa sepertiku. Lalu aku keluar dengan mulut gemetaran gigiku
gemertak beradu tak bisa kukendalikan, sarafku lumpuh.
Aku terkapar dalam terik matakari mencari harapan, bila
tubuh beku itu akan mencair oleh surya, perlahan tubuhku menghangat mulai dari
ujung jari kakiku, perlahan ia mengalir dalam kulit-kulit ari dan makin dalam
ia mendidihkan darah kemudian tulang-tulang dan sum-sum di dalamnya. Daging
busuk itu mulai bernyawa lagi, mulai ia melangkah lagi.
Lalu diujung sana aku melihat sosok pria sedikit tua dan
terlihat lelah dan kumal, mungkin akan mati, aku menghapiri sosok itu, tak
jelas wajahnya. Dia tersenyum bahagia walau nyawanya hampir melayang, tapi
kebahagiaan itu nyata. Aku bertanya apa yang anda tertawakan? Lalu katanya, “selamat datang anak-KU”
nafas-Nya berhenti.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar