[googlef074d64e99d80ece.html]

Senin, 29 Juli 2013

Setitik Harapan


Dosa memang tidak membedakan siapa yang menjadi sahabatnya, tak seperti kebanyakan orang hanya mau berteman dengan orang yang disukainya saja. Baik kaya atau miskin sama saja baginya, seperti aku yang tetap setia didampinginya kemana saja aku melangkah. Hingga kini kenikmatan yang terlanjur kucicipi belum bisa kuhentikan, malah makin menjadi.
Jika harus dihitung jumlahnya barangkali berlaksa-laksa tak terhingga, aku kini melangkah menuju lubang gelap gulita yang menganga siap menelan jiwa yang kini sesat tak tahu jalan kembali pulang.
Semakin aku dihantui rasa takut akan kekalnya hukuman maut bagi para pendosa yang tidak mau taat pada Raja. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh agar mendapat maaf setitik dari-Nya. Saat aku mencoba mencari cara dengan berbagai perbuatan baik yang ditawarkan beberapa orang, lagi-lagi aku tidak yakin dengan jalan ini.
Kata mereka cukup dengan berbuat segala kebaikan, rajin beribadah dan berbuat amal akan membayar setiap kesalahan sehingga kita akan layak masuk dalam kehidupan kerajaan sorga kelak.
Tapi apa memang aku akan cukup sanggup membayar semua dosaku dengan berbagai perbuatan mulia di dunia ini? Andai juga aku bisa memberikan seluruh dunia untuk kupersembahkan, pastilah tidak cukup untuk membayar dosa yang telah kuperbuat dari sejak aku mengenal dunia dan nikmatnya.
Lalu bagaimana jika hidupku berakhir sebelum aku berhasil membayar semua itu dengan kebaikan dan amal?. Ini adalah tanda tanya besar yang menindih punggungku sehingga aku tak sanggup melangkah dengan tegap. Kertas putih tak lagi putih, hampir hitam malah. Dan mungkin tidak akan pernah menjadi putih hingga akhirnya dibuang ke dalam api yang menyala.
Perlahan dari sudut ujungnya dibakar, lalu pelan-pelan menjalar menuju permukaan, merambat lagi perlahan hingga ujung yang lain, ia musnah menjadi wujud abu yang sedikit demi sedikit, dari ujung sudut tersobek oleh tiupan angin sepoi. Makin jauh koyakan itu makin lebar, perlahan-lahan menjadi koyakan-koyakan kecil dan menjelma menjadi butiran-butiran pasir dan makin halus terkikis angin menjadi debu. Kian dihempas menjadi angin menyatu dengan alam tak terlihat. Nasib anak manusia.
Langkah yang kuayun tetap saja tanpa tujuan yang berarti jika akhirnya aku mencapai keberhasilan seperti cita-cita seluruh keluargaku namun jiwaku binasa pada akhirnya karena dosa. Iblis telah membawaku jauh ke dalam komunitas yang digagasnya untuk membentuk sebuah kerajaan bawah tanah.
Pagi ini aku mendapatkan secarik kertas kecil warna hijau tipis, terlihat hasil lipat ganda dengan mesin foto copy, pesannya singkat saja, mengundang mahasiswa Kristen untuk hadir dalam persekutuan Jumat pukul 11.40 di gedung aula.
Tak ada juga salahnya jika kucboa menghadirinya barangkali bisa membersihkan diriku yang kotor oleh dosa, hampir berdiri di pinggir jurang dan sekali senggol akan jatuh tak tertolong. Kumandang pujian mulai dilantunkan oleh singer menunggu para undangan memenuhi ruangan, aku berjalan masuk perlahan dan kalam, mencari tempat duduk paling nyaman. Di belakang tentunya.
Aku menyimpulkan orang-orang yang biasa duduk paling depan adalah mereka yang hidupnya kudus dan tentu sangat disayang oleh Tuhan. Ketika aku mulai menikmati suasana, olok-olok menggema dalam pikiranku, aku digoda lagi untuk melihat dan membayangkan kaum hawa yang ada disana menjadi wanita-wanita malang yang ada di Youtube. Aku kalah, dan ingin keluar dari dalam ruangan ini, tapi terlanjur aku duduk dan ibadah dimulai oleh MC. Iblis mencoba membangun tembok yang menghalangi diriku untuk mendengar dan melihat pujian dan kesaksian dilantunkan.
Aku mencoba menaiki tembok itu sekuat tenaga, dengan kemampuan memanjat yang kupelajari semasa di kampung. Semakin aku berusaha semakin kuat pula ia menarik kakiku, berulang aku terhempas jatuh ke tanah yang kotor, berlumpur penuh noda, bajuku kini kumal tak lagi layak masuk dalam kerumunan itu. Mereka menertawaiku karena aku kotor, hina, bau, dan tidak layak ada disana. Tapi aku meronta paling tidak aku bisa mengintip dari tembok sejauh jangkauan mataku, aku berusaha menjinjit, hanya sedikit yang dapat kudengarkan pujian itu, hanya pantulan suara yang tidak jelas. Yang bisa ditangkap oleh biji mataku hanyalah ujung rambut pria yang bernyanyi di depan pemain musik itu.
Hingga akhir ibadah aku berdiri dengan kaki gemetar karena lelah menjinjit, mataku yang hampir dua jam melotot terasa pegal, rasanya seperti ingin keluar melompati tembok pemisah. Air mataku pecah membanjiri tempatku berdiri, hingga aku hampir tergenang menggigil kedinginan tak tertahankan. Tulang-tulangku melemah, tanganku yang dari tadi mencengkeram tembok mulai kaku dan mengeras tak bisa kugerakkan.
Nafasku tersengal dalam dada yang mulai sesak, kini aku mulai merasakan jemputan ajal memanggilku untuk segera bersamanya. Tak ada harapan bagi pendosa sepertiku. Lalu aku keluar dengan mulut gemetaran gigiku gemertak beradu tak bisa kukendalikan, sarafku lumpuh.
Aku terkapar dalam terik matakari mencari harapan, bila tubuh beku itu akan mencair oleh surya, perlahan tubuhku menghangat mulai dari ujung jari kakiku, perlahan ia mengalir dalam kulit-kulit ari dan makin dalam ia mendidihkan darah kemudian tulang-tulang dan sum-sum di dalamnya. Daging busuk itu mulai bernyawa lagi, mulai ia melangkah lagi.

Lalu diujung sana aku melihat sosok pria sedikit tua dan terlihat lelah dan kumal, mungkin akan mati, aku menghapiri sosok itu, tak jelas wajahnya. Dia tersenyum bahagia walau nyawanya hampir melayang, tapi kebahagiaan itu nyata. Aku bertanya apa yang anda tertawakan?  Lalu katanya, “selamat datang anak-KU” nafas-Nya berhenti.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar