[googlef074d64e99d80ece.html]

Rabu, 07 Mei 2014

Paskah : Politik Kampanye Yesus

Merenungkan lagi kematian Kristus dalam peringatan Paskah di tahun ini menjadi kesempatan yang baik untuk membandingkan pemilihan atas Yesus dengan pemilihan atas wakil dan presiden republik tercinta ini. Mengintrospeksi kegagalan para calon pemimpin negeri ini ketika mengiklankan dirinya ke publik agar dipilih, tanpa malu-malu mebagikan uang demi merebut hati rakyat. Pelanggaran dalam proses kampanye menjadi awal yang menunjukkan bahwa calon pemimpin tidak akan benar dalam menjalankan tugsanya sebagai wakil rakyat.
Aturan Main
Keberhasilan meraih suara dengan cara yang salah adalah kesuksesan yang diraih dengan kegagalan, kegagalan mengikuti aturan main. Banyak diantara politisi yang berhasil mengumpulkan suara rakyat dan menjadikannya pemenang pemilu, akan tetapi mereka tidak berhasil menjalankan demokrasi dengan benar. Yesus akhirnya kalah dalam “pemungutan suara” bahkan ketika ia bertanding satu lawan satu dengan Barabas di hadapan Pilatus. Orang banyak lebih memilih melepaskan penjahat yang sesungguhnya dan mengalahkan orang yang baik. Akan tetapi Yesus dengan benar memproklamirkan diri sebagai juru selamat, ia tidak pernah gagal menjalankan “demokrasi” dalam pememilihan waktu itu.
Ketika menyatakan kebenaran dalam kampanye-Nya, Ia tahu bahwa ada resiko yang harus ditanggung, penolakan dari manusia. Akan tetapi disinilah letak dari kejujuran dan integritas-Nya, kemenangan dalam pemilu bukanlah intinya tapi prinsip yang dipegangnya ketika memperkenalkan diri-Nya. Banyak yang tidak suka dengan koreksi yang dilakukan Yesus termasuk pembesar Yahudi dan Mahkamah Agama.
Ketika Ia membagi-bagikan makanan kepada 5000 orang (dalam Yohanes 6:1-15), banyak orang yang berbondong-bondong mengikut Dia. Ia juga melakukan penyembuhan-penyembuhan terhadap berbagai penyakit, yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang kusta dipulihkan, yang mati dibangkitkan. Tetapi di saat yang sama ketika ia melanjutkan pengajaran, menantang para pengikut itu untuk hidup benar, meninggalkan dosa-dosanya, mereka satu persatu meninggalkan-Nya (Ayat 60). Uniknya Yesus tidak meminta kembali apa yang telah Ia berikan kepada masyarakat waktu itu ketika mereka meninggalkan-Nya seperti politisi sekarang yang menarik sumbangan atau kompor yang diberikan saat kampanye. Yesus tidak ingin mengumpulkan orang-orang yang sekedar hanya menjadi pendukung-Nya karena Ia memanjakan mereka. Namun Ia ingin agar mereka yang datang kepada-Nya adalah orang-orang yang berkomitmen hidup benar. Berbeda jauh dengan politisi saat ini, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapat dukungan rakyat dalam lima menit saat pencoblosan. Apa yang mereka perlukan hanyalah tusukan paku ke atas namanya yang tertera dalam daftar calon anggota DPR, tanpa ada keterhubungan antara pemilih dan yang dipilih.
Pemimpin yang bersedia turun ke bawah meninggalkan tahtanya, merasakan apa yang dirasakan oleh manusia yang dipimpinnya adalah sosok yang dibutuhkan bangsa ini. Kepemimpinan yang datang ke bawah bukan untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kehadiran Yesus ke dunia bukanlah urusan politik dalam rangka kampanye menarik massa demi kekuasaan-Nya, akan tetapi demi kepentingan manusia yang membutuhkan keselamatan, pembebasan dari kematian karena hukuman dosa. “Kampanye” yang disampaikan Yesus berbeda jauh dengan kampanye politisi negeri ini. Ketika semakin banyak orang yang memilih Dia, maka orang-orang yang memilih-Nya akan ikut duduk dalam kerajaan-Nya. Bukan supaya Ia semakin kokoh bertahta dalam kuasa-Nya, sebab tanpa dipilih pun Ia akan tetap berkuasa sebab ia adalah penguasa. Pemilihan akan Kristus bukanlah pemilihan legislatif dengan janji kosong, akan tetapi dengan diri-Nya sebagai jaminan atas janji itu. Politisi di Indonesia mengkampanyekan janji-janji yang manis kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan sama seperti Yesus mengkampanyekan keselamatan bagi mereka yang membutuhkan keselamatan. Akan tetapi berbeda dalam tujuan akhirnya, jika masyarakat memilih politisi maka mereka akan duduk dalam sebuah jabatan yang menghasilkan uang dan kekuasaan bagi dirinya sendiri.
Dari sekian banyak calon legislatip yang maju pada pemilu 2014 mereka adalah orang-orang dari golongan “orang berada”. Orang-orang dengan modal milyaran rupiah, artinya golongan atas yang sesungguhnya sudah memiliki kehidupan jauh dari kata layak. Sama seperti Kristus yang turun ke bumi, Ia adalah raja yang memiliki tahta kerajaan yang Maha Tinggi. Akan tetapi Ia datang bukan karena kurang kerjaan atau kurang ketenaran, kedatangan-Nya adalah karena manusia membutuhkan. Ia “blusukan” ke bumi adalah wujud dari penyataan diri-Nya kepada umat yang dikasihi-Nya, ia merasakan bagaimana kehidupan seperti manusia biasa. Sangat disayangkan begitu banyak yang mereka “korbankan” demi meraih kursi di pemerintahan namun dijalankan dengan cara yang salah. Jika sesuatu sudah dimulai dengan salah, maka kecil kemungkinannya ia akan berjalan dengan benar dan berakhir dengan benar pula. Sayangnya masyarakat yang membutuhkan pertolongan untuk keluar dari jurang kemiskinan, ketidakberdayaan alat peraga yang cukup jitu diandalkan saat berkampanye, uang lima puluh ribu cukup untuk menyenangkan hati mereka. Meski Yesus tahu bahwa manusia itu sangat membutuhkan Juru Selamat, namun Ia tidak memanfaatkan kebutuhan itu untuk “kemenangan-Nya” malah banyak yang menolak dan akhirnya menyalibkan Dia.
Bersedia Dianggap Salah
Yesus disalibkan pada akhirnya bukanlah karena Ia salah, namun karena Ia dianggap salah oleh manusia yang buta akan kebenaran. Ia bersedia dianggap salah sekalipun benar, di negeri ini jangankan bersedia dianggap salah, bahkan saat salah pun mereka menganggap diri benar. Puncaknya adalah ketika Ia akhirnya mati disalibkan, saat itulah masyarakat menyadari kebenaran-Nya dan menyadari kesalahan mereka. Ketika rakyat tidak lagi mengenal kebenaran, ketika rakyat tidak lagi dapat membedakan pemimpin yang benar dan salah, Yesus tidak mengikuti arus itu demi mencapai ambisi pribadi-Nya mengumpulkan massa. Ia tetap bertahan pada kebenaran yang harus Ia sampaikan sekalipun melawan arah. Yesus bisa saja mencari aman dengan tidak mengoreksi kesalahan orang Farisi dan Ahli Taurat, Ia bisa saja memanja-manjakan masyarakat dengan membagi-bagikan makanan dengan membuat lima roti dan dua ikan menjadi lebih dari cukup untuk lima ribu orang.   
Mewakili Rakyat

Prinsip kasih dan keadilan Allah berjalan dan terpenuhi ketika Yesus berinkarnasi menjadi manusia seperti kita. Kasih berarti tidak ingin kehilangan orang yang dikasihi, adil berarti menghukum yang salah, membebaskan yang benar. Allah yang sedemikian mengasihi manusia tidak ingin mereka binasa. Allah yang adalah adil tidak ingin mengingkari keadilan-Nya dengan membiarkan manusia yang melakukan kejahatan bebas begitu saja. Maka kehadiran Yesus adalah jawabannya, keadilan yang harusnya dijalankan dengan menghukum manusia berdosa itu, Yesuslah yang menanggungnya, dan manusia itu pun bebas dari hukuman (kebinasaan) maka berjalanlah kasih-Nya. Di negeri yang keadilan telah menjadi barang dagangan, kasih menjadi komoditi langka ini, dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu menjalankan kedua hal ini dengan baik. Kepemimpinan yang tidak mengarahkan pelayanan untuk dirinya sendiri namun untuk orang-orang yang ia pimpin dan layani. Yesus menjadi “wakil rakyat” memikul penderitaan di kayu salib agar mereka yang mempercayai-Nya selamat. Ia mewakili mereka memikul beban di pundaknya, menahan sakit di tangan dan kaki-Nya ketika paku menembusnya. DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya mewakili rakyat memikul penderitaan mereka, memikul sengsara mereka karena kemiskinan, karena ketidakberdayaan. Semoga mereka yang terpilih mengingat apa yang mereka janjikan saat kampanye.

Rabu, 05 Februari 2014

Hati-hati Dengan Pernikahan Dini



Kehidupan cinta sering menjadi sebuah trek yang melelahkan untuk dilalui, berliku, mendaki, terjal dan penuh tantangan. Tak jarang membuat mereka yang tak sanggup melaluinya terpaksa mundur, bukan hanya itu, banyak yang jatuh dari tebing dan tergeletak. Betapa menyakitkan memang jika kita tidak sanggup menggapai cinta yang sudah diidamkan. Ibarat menantang terjalnya dakian, hanya orang yang benar-benar telah mempersiapkan dirilah yang mampu menghadapinya. Menghadapi dalam artian bukan hanya berhasil meraihnya, namun mereka benar-benar mempersiapkan diri. Orang yang tahu bagaimana rasanya mendaki sebuah tebing, sangat paham kapan waktunya untuk mundur, sebelum mereka benar-benar jatuh.

Bagi sebagian orang gunung adalah keindahan yang ingin ia sentuh, betapa menakjubkan mereka memandangnya dari kejauhan. Keindahan itu menggoda mereka untuk datang ke sana, menikmatinya. Namun godaan untuk menikmati keindahan gunung itu sering membuat manusia lupa betapa gunung itu dihuni oleh berbagai tumbuhan liar yang bisa menghambat, di dalamnya hidup berbagai makhluk yang bisa membahayakan. Mereka terkecoh oleh indahnya gunung dari jauh.

Banyak orang yang merindukan pernikahan, merindukan kekasih untuk mendampingi hidup menjalani kehidupan. Mereka memandang pernikahan itu begitu nikmat untuk dijalani dan dimiliki. Seperti keindahan sebuah gunung, pernikahan itu sering menjadi sebuah pemandangan yang cukup menggairahkan untuk segera dinikmati. Tanpa menyadari betapa banyaknya tantangan yang harus dihadapi saat menjalaninya. Maka tidak sedikit orang yang gagal karena di tengah jalan, bahkan masih di kaki bukit pernikahan.

Orang-orang sering lupa bahwa menjalani pernikahan itu adalah kebahiaan tiada tara, asal sudah berdua maka tidak akan ada lagi kesusahan. Betapa menyenangkan membayangkan kita berdiri di puncak gunung, memandang luas keindahan di bawahnya dan berteriak sekuat-kuatnya. Sungguh indah. Apa yang paling indah selain membayangkan tiap hari ketemu dengan orang yang kita cintai, bersam-sama tinggal dalam satu rumah, saling memanja.

Maka mereka yang tak sabar segera memutuskan untuk pacaran lalu menikah, mereka sungguh merasa bahwa diri mereka sangat siap. Modalnya adalah saling mencintai. Mereka merasa bahwa taka ada yang bisa menandingi cinta, tak ada yang bisa memisahkannya. Dimulailah perjalanan bersama oleh sepasang kekasih yang dilanda asmara. Apa yang terjadi di dalam perjalanannya sangat mudah ditebak. Indah, menyenangkan menikmati cinta berdua, tak ada yang bisa menggantikannya, tapi hanya bertahan seumur jagung.

Pengenalan yang dangkal
Karakter yang bertentangan mulai terlihat sebab mereka tidak mempersiapkan diri sebelum bepergian, mereka berpikir perjalanan hanya sehari, seminggu, setahun, atau lima tahun. Mereka berpikir jalanan lurus dan datar, mereka tidak menjalani latihan fisik sebelumnya sehingga mereka kebal, mereka tidak memeriksa diri sebelum berangkat.

Diperlukan latihan fisik sehingga kita benar-benar fit saat akan mendaki sebuah gunung, perlu memeriksa kondisi kesehatan kita sebelum bepergian jauh. Pasangan yang menikah tanpa mengenal diri mereka masing-masing, sangat rentan terhadap kehancuran. Bukan tantangan dari luar yang membuat mereka terpecah, tapi dari dalam diri mereka sendiri. Sebab mereka belum saling mengenal secara mendalam, usia pacaran mereka cukup singkat. Dalam perjalanannya mereka juga hanya menunjukkan sifat-sifat pribadi yang baik kepada kekasihnya. Sehingga ketika mereka menikah, keburukan-keburukan mulai terlihat. Apa yang terjadi? Mereka terkejut, tak menyangka pasangannya ternyata tidak seperti yang mereka lihat sebelum mereka menikah. Pengenalan mereka sangat dangkal.

Dunia ini bukanlah milik berdua
Orang yang dilanda cinta memang merasa bahwa dunia ini hanya milik berdua, yang lain ngontrak. Hal tersebut ada benarnya, namun hanya berlaku sebentar ketika gelora cinta pada posisi yang masih membara. Ketika sudah menikah, maka yang ada memang hanya aku dan pasanganku, tidak bisa lagi ada yang lain mengisi. Tapi berapa banyak pria atau wanita yang menyesal setelah menikah? Melihat bagaimana sebenarnya “asli” dari pasangannya setelah keburukan-keburukannya keluar, tak sedikit yang merasa telah salah menilai selama ini. Ternyata dia tak sesempurna yang diduga.

Hal inilah yang menimbulkan godaan untuk “melihat” ke luar, mencari yang lebih baik, mencoba memuaskan emosi yang terkejut karena sudah salah menilai. Awalnya memang mereka hanya melihat-lihat dan berkata “harusnya seperti yang ini” ketika mereka melihat seseorang di luar sana. Jika mental atau emosi tidak kuat untuk ditahan, maka tidak jarang mereka akan mencoba-coba melupakan status mereka yang telah menikah. Hal yang mulai muncul adalah bentakan yang kemudian meningkat menjadi kekerasan dalam rumah tangga. Maka dunia bukan lagi milik anda berdua.

Bukan berarti gunung tidak indah
Jika kegagalan dalam pernikahan telah dialami, saat itulah mereka mengatakan betapa pernikahan itu menyakitkan, betapa pernikahan itu tidak indah. Harusnya, pernikahan itu indah dan menyenangkan. Sebab kita tidak lagi sendiri menjalani hidup, tidak lagi sendiri mengerjakan segala sesuatu, sendiri memikirkan sesuatu, harusnya hidup semakin maksimal setelah menikah. Hanya saja kita sering tidak berhasil mencapai keindahan pernikahan itu karena kita tidak mempersiapkan diri untuk meraihnya. Bekal kita sangat minim sehingga tak cukup untuk menikmati betapa baiknya cinta yang menyatu dalam pernikahan itu dirancang oleh yang Maha Kuasa.

Jika ada orang yang meninggal karena jatuh dari tebing saat mendaki gunung, bukan berarti gunung itu tidak lagi indah. Akan tetapi kesiapan si pendakilah yang kurang sehingga ia tidak sanggup mencapai puncak. Kegagalannya menghadapi tantanganlah yang membuat ia tidak berhasil menikmati keindahan gunung itu. Demikian halnya pernikahan, pasti indah.

Kamis, 01 Agustus 2013

SIRINE


Dari kejauhan terdengar suara itu, melengking tajam menusuk telinga, kian lama kian dekat suara itu membuat bulu-bulu di sekujur tubuh merinding. Nada sendu itu membawa bayangan kematian di tempat yang dilaluinya. Perlahan ambulance itu berhenti tepat di depan rumah Balotelli, dengan polos anak itu menirukan suara sirene sambil menarik tali pengikat mobilannya. Anak itu begitu riang.
Balottelli sedang asik memainkan mobil-mobilan kayu buatan ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar di sebuah panglong di kampungnya. Balo sangat membanggakan mobil buatan ayahnya itu, selain karena ukurannya besar juga memiliki warna yang sangat disukai Balo, biru muda. Kakanya Irina sedang memanaskan air mandian untuk Balo sore itu sesuai jadwal yang ditetapkan oleh ibunya, Balo harus mandi pukul empat sore.
Semua orang tersita oleh tingkahnya yang lucu tak membuat tawa justru menambah lara. Terlihat ibu Shakira mengenakan tudung hitam hampir menutupi wajahnya, dua sisi tudung dipegang tangan kanannya mengepal bibirnya. Duka jelas menghujam jiwanya, matanya bagai buta karena lelah sudah meratap. Peti itu digotong  dari dalam mobil disambut histeris khalayak yang membatu. Irina memecahkan langit dengan histeris tangisnya yang tak terhalang. Bukan main sedihnya.
Orang-orang berdesakan dalam rumah sempit berdinding tepas dengan lantai tanah yang sederhana itu.
tengok suara mobilku sama kayak mobil itu” Balo menirukan suara sirene membuat semua orng makin menangis. Irina memeluk adiknya itu kuat-kuat, dengan tangisan pilu yang sangat dalam tak terukur.
“Bapak kok diantar rame-rame pake mobil itu, kenapa gak pake mobil Balo aja?” ah, mulut polos ini tak bisa dihentikan membuat duka semakin dalam.
“Kakak kenapa nangis, kata mama kalau sudah besar gak boleh nangis, Balo aja ga nangis
Semua orang memandangi Balo dengan tangan di mulut, masing-maing menahan pecahnya histeris. Shakira yang sudah lelah menangis seperti tak sanggup lagi, tak kuat lagi, kini ia kehabisan tenaga, air matanya pun sudah tiada, kering sudah memenuhi lautan.
“Bapak kenapa diam aja?” Balo bertanya pada kakanya Irina.
“Bapak lagi bobo sayang” kata Irina tersendat.
Balotelli memandangi wajah ayahnya yang sudah tak bernyawa itu, kaku membujur di tengah gubuk kecil buatan tangannya dua tahun lalu. Kemudian mendekati tubuh yang terbaring tenang sambil memeluk mobilan di dadanya, dengan jari telunjuknya yang lembut dan mungil ia menikam-nikam pipi pucat ayahnya.
Balo ingin mengajak ayahnya main mobil-mobilan seperti biasa mereka lakukan setiap sore setelah ayahnya pulang kerja.
“Papa bangun, ayok main mobilan” katanya lirih, menyaksikan itu ibunya makin menangis tak karuan, ia menyandarkan kepalanya ke dinding anyaman bambu disampingnya. Tak ada yang bisa dikatakan, tak juga terjelaskan tak juga sanggup untuk mengatakan kebenaran kalau suaminya sudah meninggal, anak sekecil itu terlalu dini mendengarnya.
“Lihat anakmu ini, dia mengajakmu main-main.....” Shakira menangis dengan nada duka terlantun dari kerongkongannya yang sudah mengering, suaranya hampir tak terdengar lagi, habis sudah.
“uiu..iu..iuuu...uiu..iu..” Balo memainkan lagi mobilnya.
Irina tak tahan melihat tingkah adik kecilnya itu, ia memalingkan wajahnya, ia menagis sejadi jadinya, membentak kejamnya maut telah menjemput pahlawannya. Ia tak rela ayahnya tiada, ayah yang mengasihinya, ayah yang memperjuangkannya sekuat daya.
“Mobilku ini mobil uiu iu namanya” kata Balo lagi, sungguh anak itu tidak mengerti apa yang terjadi, anak itu tak menyadari ayahnya sudah pergi. Tapi baginya mobil itu adalah segalanya.
Suasana mulai hening setelah anak itu lelah bercanda dengan mobilnya selelah ibunya menahan duka lalu tertidur nyenyak di pangkuan Shakira.
__o__
Sudah tiga hari setelah jenazah Drogba dikebumikan rumah masih terasa sepi, tidak ada tanda kehidupan bagai suri. Shakira dan irina masih dirundung pilu yang tak sudi ditinggal suami dan ayah pergi. Irina menyemangati ibunya untuk makan nasi telor ceplok dihadapannya, sudah dua hari tak menyentuh makanan sore itu.
Ia begitu terpukul ditinggal kekasih yang sangat dicintainya lahir batin, sungguh tak ada yang dapat menggantikan sosok jenderal poros berputarnya roda hidup di rumahnya. Setelah enam bulan berjuang melawan  virus yang menggerogoti paru-paru yang didapatnya dari abu kayu di pertukangan.
Semakin timpanglah kini putaran roda nasib setelah salah satu tak lagi berguna, yang dulunya sudah sulit, kini makin terhempit, Shakira hanya tukang cuci di warung nasi terminal bus di kota kecil itu untuk menambah pemasukan keluarga.
Ditatapnya anak-anak cantik dan ganteng itu penuh lara, ia begitu berduka membayangkan hari depan mereka.
Tahun ini Irina akan masuk SMA, darimana biaya untuk menyekolahkannya. Dulu Drogba menolak keluarga dekat yang ingin membawa Irina ke Jakarta untuk disekolahkan. Baginya melepaskan anaknya pergi untuk disekolahkan orang menyangkut harga diri.
“Kau pikir aku tak sanggup membiayai sekolah anakku?” katanya waktu itu.
Sosoknya begitu tegas, pekerja keras dan lugas. Dulu mereka sebenarnya tinggal di Pekanbaru, Drogba bekerja  di salah satu perkebunan sawit sebagai mandor, sayang ia harus pulang kampung karena dipecat dengan alasan melawan kebijakan atasan menggelapkan tandan berimbas fitnah.
Balotelli melonjak kegirangan mendengar suara motor butut pak Wenger tetangganya yang baru pulang kerja sebagai tukang angkat di gudang pupuk pak Anelka samping ayahnya bekerja. Biasa Drogba nebeng pulang dengan Wenger tiap sore.
“Ayahku mana?” Balo bertanya pada pak Wenger. Tak dilihatnya bapaknya di boncengan Wenger seperti biasanya. Wajar saja ia selalu menanti ayahnya, sore adalah waktu singkat khusus untuk mereka berdua, pagi sebelum Balo bangun, Drogba pasti sudah tak dilihatnya. Embun belum lenyap ia sudah berangkat dibonceng Wenger ke tempat kerja yang berjarak lima kilometer dari rumah.
Pak Wenger memandang Shakira yang berdiri lesu dibelakang Balo, lidahnya bagai bertulang tak tahu menjawab pertanyaan anak kecil yang menantikan ayahnya bermain mobilan. Wenger turun dari motor honda 70 yang suaranya bagai bebek dikejar anjing itu.
Diraihnya anak bungsu sahabat baiknya itu lalu dirangkul erat bagai anak sendiri. mereka memainkan mobil-mobilan seperti biasa dilakukan sahabatnya Drogba ketika mereka tiba di rumah, tentu Wenger sudah hapal.
Shakira hanya memperhatikan dari jauh dengan kelopak matanya yang sayu, anak itu kegirangan karena Wenger cukup lihai memperagakan kehadiran Drogba sahabatnya. Senyum Shakira dingin, memang tak bisa dipaksakan mengikuti ceria anaknya.
Fanni istri Wenger datang menghampiri Shakira, mencoba menemani wanita lemah itu menikmati senja, barangkali bisa sedikit memulihkan lara tetangga karibnya.
__ o __
Irina tetap melanjutkan sekolah ke SMA, ini adalah bulan kedua setelah ia masuk. Ibunya berjanji akan memperjuangkan nasibnya paling tidak hingga lulus SMA. Shakira tetap bekerja sebagai tukang cuci piring di terminal bus, tentu karena tak ada pilihan lain. Malamnya ia pulang membawa makanan sisa yang tidak habis terjual ke rumah untuk kedua anaknya. Dengan bijak ia menyisihkan ikan untuk besok pagi dipanaskan.
Balotelli tiap hari dititipkan kepada Fanni yang bekerja sebagi penjahit kecil-kecilan, baginya menjaga Balotelli dan satu anaknya yang masih kecil bukan masalah, malah senang karena Zeko anaknya  punya teman bermain. Mobil kesayangannya adalah teman yang tidak terpisahkan dari hari-harinya, mobil itulah yang membuatnya betah ditinggal ibunya sepanjang hari.
Pulang sekolah Irina langsung ke toko kelontong pak Mourinho yang menjadi pemasok barang dagangan ke warung-warung kecil di kota itu. Dorongan iba memotori kehendak pak Mourinho mempekerjakan Irina untuk menambah pendapatan keluarga, sekaligus menghemat karena siangnya Irina boleh makan siang disana. Baju ganti selalu dibawanya ke sekolah sehingga tidak perlu pulang dulu ke rumah sebelum kerja.
Tiap sore Irina pulang bersama ibunya sebelum senja, tiap sore mereka akan menemui Balotelli asik bermain mobilan bersama Wenger yang kini menggantikan peran sahabatnya Drogba. Beruntung sekali Shakira memiliki tetangga seperti Wenger, sahabat suaminya. Walau tak bisa mengambil peran sebagai suami, baginya sudah cukup kehadiran Wenger untuk si kecil Balo, Fanni juga tak keberatan suaminya menemani Balo tiap sore main mobilan bersama Zeko.
Sore itu Shakira tiba di rumah bersama Irina membawa bungkusan nasi, Irina membawa kerupuk yang diberikan Mourinho untuk adiknya. Sungguh mereka senang menikmati makanan yang disedekahkan oleh majikan-majikan yang mengerti nasib keluarga kecil ini.
“Mak, ternyata uiu iu yang membawa bapak itu sirine namanya” kata Balo sambil menunjukkan sisi bak mobilannya terukir tulisan MOBIL SIRINE yang ditulis dengan spidol oleh Fabregas abang Zeko yang kelas enam atas permintaan Balotelli.
Shakira tersenyum tapi matanya berkaca sambil merangkul anak bungsunya yang manis itu, dibelainya kepala mungil anak itu dengan mesra. Terlalu dini ia kehilangan sosok ayah yang masih dibutuhkannya dalam waktu lama.  
Mobil Sirine inilah yang menjadi teman Balotelli tiap hari, ia tumbuh bersama mobil buatan tangan ayahnya, kehadiran mobil ini seperti mewakili sosok Drogba dalam nadinya. Mobil itu tidak pernah lepas dari sisinya, Balo menjaga mobil sirine bagai ibunya menjaganya, tak terpisahkan mereka.
Kehadiran Mobil Sirine ini pulalah yang menyulut semangat Shakira untuk menjalani hari-harinya, memperjuangkan kedua anaknya. Suami yang dirindukannya terasa dalam semangat Balotelli tiap hari menirukan suaranya. Ia kini bisa melepas pergi Drogba, ia bahagia bersama Irina, Balotelli dan Mobil Sirine suaminya.
“Ma, nanati kalau Balo udah besar, mau jadi sopir mobil Sirine”
Shakira terbangun. Dilihatnya Drogba mendengkur.



Senin, 29 Juli 2013

Setitik Harapan


Dosa memang tidak membedakan siapa yang menjadi sahabatnya, tak seperti kebanyakan orang hanya mau berteman dengan orang yang disukainya saja. Baik kaya atau miskin sama saja baginya, seperti aku yang tetap setia didampinginya kemana saja aku melangkah. Hingga kini kenikmatan yang terlanjur kucicipi belum bisa kuhentikan, malah makin menjadi.
Jika harus dihitung jumlahnya barangkali berlaksa-laksa tak terhingga, aku kini melangkah menuju lubang gelap gulita yang menganga siap menelan jiwa yang kini sesat tak tahu jalan kembali pulang.
Semakin aku dihantui rasa takut akan kekalnya hukuman maut bagi para pendosa yang tidak mau taat pada Raja. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh agar mendapat maaf setitik dari-Nya. Saat aku mencoba mencari cara dengan berbagai perbuatan baik yang ditawarkan beberapa orang, lagi-lagi aku tidak yakin dengan jalan ini.
Kata mereka cukup dengan berbuat segala kebaikan, rajin beribadah dan berbuat amal akan membayar setiap kesalahan sehingga kita akan layak masuk dalam kehidupan kerajaan sorga kelak.
Tapi apa memang aku akan cukup sanggup membayar semua dosaku dengan berbagai perbuatan mulia di dunia ini? Andai juga aku bisa memberikan seluruh dunia untuk kupersembahkan, pastilah tidak cukup untuk membayar dosa yang telah kuperbuat dari sejak aku mengenal dunia dan nikmatnya.
Lalu bagaimana jika hidupku berakhir sebelum aku berhasil membayar semua itu dengan kebaikan dan amal?. Ini adalah tanda tanya besar yang menindih punggungku sehingga aku tak sanggup melangkah dengan tegap. Kertas putih tak lagi putih, hampir hitam malah. Dan mungkin tidak akan pernah menjadi putih hingga akhirnya dibuang ke dalam api yang menyala.
Perlahan dari sudut ujungnya dibakar, lalu pelan-pelan menjalar menuju permukaan, merambat lagi perlahan hingga ujung yang lain, ia musnah menjadi wujud abu yang sedikit demi sedikit, dari ujung sudut tersobek oleh tiupan angin sepoi. Makin jauh koyakan itu makin lebar, perlahan-lahan menjadi koyakan-koyakan kecil dan menjelma menjadi butiran-butiran pasir dan makin halus terkikis angin menjadi debu. Kian dihempas menjadi angin menyatu dengan alam tak terlihat. Nasib anak manusia.
Langkah yang kuayun tetap saja tanpa tujuan yang berarti jika akhirnya aku mencapai keberhasilan seperti cita-cita seluruh keluargaku namun jiwaku binasa pada akhirnya karena dosa. Iblis telah membawaku jauh ke dalam komunitas yang digagasnya untuk membentuk sebuah kerajaan bawah tanah.
Pagi ini aku mendapatkan secarik kertas kecil warna hijau tipis, terlihat hasil lipat ganda dengan mesin foto copy, pesannya singkat saja, mengundang mahasiswa Kristen untuk hadir dalam persekutuan Jumat pukul 11.40 di gedung aula.
Tak ada juga salahnya jika kucboa menghadirinya barangkali bisa membersihkan diriku yang kotor oleh dosa, hampir berdiri di pinggir jurang dan sekali senggol akan jatuh tak tertolong. Kumandang pujian mulai dilantunkan oleh singer menunggu para undangan memenuhi ruangan, aku berjalan masuk perlahan dan kalam, mencari tempat duduk paling nyaman. Di belakang tentunya.
Aku menyimpulkan orang-orang yang biasa duduk paling depan adalah mereka yang hidupnya kudus dan tentu sangat disayang oleh Tuhan. Ketika aku mulai menikmati suasana, olok-olok menggema dalam pikiranku, aku digoda lagi untuk melihat dan membayangkan kaum hawa yang ada disana menjadi wanita-wanita malang yang ada di Youtube. Aku kalah, dan ingin keluar dari dalam ruangan ini, tapi terlanjur aku duduk dan ibadah dimulai oleh MC. Iblis mencoba membangun tembok yang menghalangi diriku untuk mendengar dan melihat pujian dan kesaksian dilantunkan.
Aku mencoba menaiki tembok itu sekuat tenaga, dengan kemampuan memanjat yang kupelajari semasa di kampung. Semakin aku berusaha semakin kuat pula ia menarik kakiku, berulang aku terhempas jatuh ke tanah yang kotor, berlumpur penuh noda, bajuku kini kumal tak lagi layak masuk dalam kerumunan itu. Mereka menertawaiku karena aku kotor, hina, bau, dan tidak layak ada disana. Tapi aku meronta paling tidak aku bisa mengintip dari tembok sejauh jangkauan mataku, aku berusaha menjinjit, hanya sedikit yang dapat kudengarkan pujian itu, hanya pantulan suara yang tidak jelas. Yang bisa ditangkap oleh biji mataku hanyalah ujung rambut pria yang bernyanyi di depan pemain musik itu.
Hingga akhir ibadah aku berdiri dengan kaki gemetar karena lelah menjinjit, mataku yang hampir dua jam melotot terasa pegal, rasanya seperti ingin keluar melompati tembok pemisah. Air mataku pecah membanjiri tempatku berdiri, hingga aku hampir tergenang menggigil kedinginan tak tertahankan. Tulang-tulangku melemah, tanganku yang dari tadi mencengkeram tembok mulai kaku dan mengeras tak bisa kugerakkan.
Nafasku tersengal dalam dada yang mulai sesak, kini aku mulai merasakan jemputan ajal memanggilku untuk segera bersamanya. Tak ada harapan bagi pendosa sepertiku. Lalu aku keluar dengan mulut gemetaran gigiku gemertak beradu tak bisa kukendalikan, sarafku lumpuh.
Aku terkapar dalam terik matakari mencari harapan, bila tubuh beku itu akan mencair oleh surya, perlahan tubuhku menghangat mulai dari ujung jari kakiku, perlahan ia mengalir dalam kulit-kulit ari dan makin dalam ia mendidihkan darah kemudian tulang-tulang dan sum-sum di dalamnya. Daging busuk itu mulai bernyawa lagi, mulai ia melangkah lagi.

Lalu diujung sana aku melihat sosok pria sedikit tua dan terlihat lelah dan kumal, mungkin akan mati, aku menghapiri sosok itu, tak jelas wajahnya. Dia tersenyum bahagia walau nyawanya hampir melayang, tapi kebahagiaan itu nyata. Aku bertanya apa yang anda tertawakan?  Lalu katanya, “selamat datang anak-KU” nafas-Nya berhenti.

Sabtu, 06 Oktober 2012

FANATISME MARGA, PEMBANGUNAN TUGU MENGIKIS DALIHAN NATOLU


Benyaris A Pardosi


Batak dan Kekayaannya

Bangso Batak adalah suatu sebutan yang menunjukkan betapa besarnya suku batak sebagai salah satu suku di Indonesia. Orang Batak telah tersebar meluas di seluruh wilayah Indonesia bahkan dunia. Kemampuannya untuk beradaptasi dalam mempertahankan hidup merupakan suatu sikap yang patutu diacungi jempol. Batak dalam kesatuannya sebagai masyarakat yang beradat dikenal dengan semboyan dalihan natolu (manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula). Ini menjadi sebuah pesan yang patut untuk dipertahankan karena mengandung makna yang sangat kaya untuk dihidupi secara turun temurun. Semboyan ini adalah darah persatuan yang mengalir dalam denyut nadi orang-orang batak, mudar parsadaan ni holong, dohot dame. Dalam semboyan ini mengalir darah persatuan yang mengikat seluruh keturunan suku batak sehingga mereka akan tetap bersatu teguh kapan dan dimana-pun berada. Semboyan ini memampukan orang batak untuk melihat posisinya dalam adat. Mungkin dia sebagai dongan tubu, boru atau hula-hula, dengan demikian tiap orang mampu mengambil peran masing-masing dalam acara adat. Keberagaman marga-marga yang ada adalah sebuah kekayaan yang menunjukkan betapa banyaknya keturunan orang batak. Adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh orang batak. Tanpa adat, orang batak tidak hidup. Adalah sangat memalukan apabila seseorang dalam keluarga suku batak tidak ikut terlibat dalam adat orang batak, orang tersebut akan mendapat panggilan “na so maradat”.

Tugu dan Fanatisme Marga

Tugu sebagai suatu ciri tempat tinggal orang batak adalah sebuah seni yang sangat khas. Besar dan kemegahan tugu yang dibangun seolah-oleh menjadi sebuah simbol kemakmuran keturunan marga yang mendirikannya. Dalam pendirian tugu tentu semua pihak memberi kontribusi masing-masing, maklum dana yang dibutuhkan tentu tidaklah sedikit. Tidak mau kalah setiap marga berlomba-lomba untuk membangun tugunya masing-masing. Setelah selesai mendirikan tugu mereka mengadakan pesta parsadaan dengan memotong kerbau dan babi (sigagat duhut dohot namarmiak-miak) diiringi dengan musik batak (gondang batak) dan manortor. Betapa indahnya kebersamaan dalam pesta syukuran tersebut, makan bersama, tertawa bersama dan adanya kepuasan tersendiri dengan berdirinya tugu kebanggaan. Semangat gotong royong untuk mempersiapkan pesta terlihat begitu indah dan patut untuk diteladani. Semua orang tidak mau tinggal diam tanpa mengambil peran untuk pelaksanaan pesta..
Semakin banyak dan semakin meluasnya orang batak yang tinggal di bona pasogit dan di perantauan adalah suatu hal yang sangat kita syukuri. Orang-orang yang tinggal di bona pasogit tentu masih sangat kental dan dekat dengan dongan tubunya masing-masing. Sementara orang-orang yang sudah tinggal di perantauan memiliki komunitas marga yang sama terbilang sedikit. Sehingga mereka banyak yang mencari teman-teman perantau yang memiliki marga yang sama, dan membuat kumpulan kebersamaan. Maka lahirlah parsadaan-parsadaan marga tertentu, misalnya parsadaan boru bere marga X. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi kita sebagai orang batak yang mewarisi titipan orang tua, yaitu pesan manat mardongan tubu. Mencari dongan tubu sebagai tempat untuk berbagi, tempat untuk saling mendoakan dan saling mendukung. Sementara di bona pasogit banyak yang bersepakat untuk membangun tugu sebagai simbol persatuan marga.
Secara bersama-sama mereka mengumpulkan dana bagi pelaksanaan pembangunan tugu tersebut. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya semangat gotong royong dalam suku batak. Namun satu hal yang menyedihkan adalah lahirnya pemahaman yang janggal dalam adat istiadat orang batak, saya tidak tahu persis apakah memang demikianlah diturunkan dari dulu oleh nenek moyang. Banyaknya orang batak yang tidak mengetahui silsilahnya, sehingga terjadilah perebutan kedudukan dalam acara adat, perebutan jambar salah satunya. Hal ini sering memicu terjadinya pertiakaian diantara dongan tubu. Tidak sedikit yang bertikai dengan masalah jambar, gugu (kontribusi berupa uang atau beras/padi), bahkan berbagai ketidakpuasan. Malah ada juga marga yang mengalami perpecahan karena adat istiadat batak. Adat seolah tandingan agama yang harus dilakukan, pelaksanaannya yang sakral seolah-olah menjadi sebuah harga yang tidak bisa ditawar tawar. 

“Monumen” Hidup

Kebanggaan sebagai orang batak, kebanggaan sebagai bagian dari marga tertentu dituangkan dalam sebuah monumen megah yang berdiri atas kerjasama seluruh pihak. Ketika orang lain berkunjung ke bona pasogit, mereka akan menyaksikan monumen-monumen yang bertuliskan marga pendiri tugu tersebut, dengan demikian mereka akan mudah mengetahui marga apa yang mendiami daerah yang mereka kunjungi. Banyak yang kagum menyaksikan hal tersebut, mungkin mereka akan berpikir betapa kayanya orang batak. Namun kenyataan yang terjadi adalah ternyata masih banyak rumah-rumah orang batak yang tidak memadai, banyak anak-anak orang batak yang tidak sekolah karena tidak mampu dalam dana, banyak anak-anak yang kurang gizi karena ekonomi lemah. Mengapa untuk mendirikan tugu orang batak bisa bersatu mengumpulkan milyaran dana, sementara untuk membantu dongan tubu, boru, hula-hula tidak bisa..??. Tugu hanyalah monumen mati yang hanya akan melahirkan kesombongan. Kenapa dana pembangunan tugu tidak disisihkan untuk membantu saudara-saudara yang tidak mampu,,??. Memodali mereka untuk membuka usaha, menyekolahkan anak-anak, memberi makan yang kekurangan, membangun sarana pendidikan. Bukankah itu adalah tugu yang hidup.??.
Adat adalah ciptaan manusia, adat lahir dari kebiasaan manusia. Adat ada untuk manusia, bukan manusia untuk adat. Jika adat telah menjadi pemecah bagi orang batak, mungkin kita perlu meninjau  kembali adat yang sedang kita kerjakan. Saya percaya nenek moyang kita tidak mengajarkan perpecahan. Saya percaya mereka merancang semboyan Dalihan Natolu dengan matang-matang untuk kesatuan orang batak. Jangan sampai adat memperbudak orang batak, biarlah kita yang menguasai adat tersebut. Saya percaya bukan adatnya yang salah, tapi kitalah yang sering salah memahami dan menerapkannya.
Kita punya Tuhan atas segenap, termasuk atas adat. Jangan sampai iblis mempergunakan adat sebagai kesempatan untuk memecah belah.
Mazmur 133:1 Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.
Psalmen 133:1 Ende hananangkok sian si Daud. Ida ma, dengganna i dohot sonangnai, molo tung pungu sahundulan angka na marhahamaranggi! Songon miak na hushus di ulu pola mabaor tu mise, tu mise ni si Aron, pola mabaor sahat tu rambu ni angka ulosna.Songon nambur ni Hermon, na mabaor tu angka dolok Sion, ai disi do diparbaga Jahowa pasupasu, hangoluan sahat ro di salelenglelengna.
Menghormati pendahulu dengan membangun tugu bukanlah satu-satunya cara yang tepat. Menghormati pendahulu bisa kita wujudkan dengan kasih terhadap sesama. Saya yakin tidak ada gunanya kita mendirikan tugu yang megah namun kehidupan sesama kita melarat, kita bertengkar dan terpecah. Adat adalah sebuah seni yang layak untuk dipelihara. Namun adat bukanlah agama yang membelenggu dan memaksa kita untuk tunduk kepadanya. Sangat disayangkan juga apabila orang-orang batak di perantauan yang katanya sudah berpendidikan ikut mendukung adanya pembentukan kelompok-kelompok fanatis tertentu yang mengakibatkan perpecahan. Mari bersama memelihara adat yang benar, adat yang membangun, adat yang memajukan kehidupan orang batak. Mari membangun monumen hidup melalui pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana. Bukan membangun menumen mati yang memberi kebanggaan sementara, monumen yang akan lapuk oleh waktu. Lihatah wajah saudara-saudara kita yang kekurangan, yang putus sekolah, yang kelaparan, yang tidur tidak nyaman karena rumah tidak nyaman. Jawabannya ada pada kita. Bangso batak, bangso na jogi, bangso na balga, bangso na marsihaholongan. Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula. Sai diramoti Tuhan ma hita ganup laho pature ture parngoluon na dumenggan.

Sabtu, 12 Mei 2012

ALUMNI DAN DOANYA

                                Kasih kepada Allah Perintah  yang Utama
Ulangan 6:1-15


Tentang saya
Ketika saya dipersiapkan untuk melayani di Perkantas, saya sangat berharap agar saya melayani di Medan. Tak pernah ada pikiran apalagi mendoakan untuk ke Sidikalang (hahaha). Awalnya bahkan saya sedikit meragukan doa-doa dari BPC dan PC maupun PHC. Dan katanya waktu itu bahwa komponen pelayanan di Sidikalang sudah menyebut saya dalam doa-doa mereka (waow,, gawat). Saya menganggap suatu kekeliruan jika saya harus dikirim ke Sidikalang, dan keyakinan mereka, doa-doa mereka kuragukan. Waktu itu saya berkata kepada Tuhan, “Tuhan, apa memang benar Kau meyakinkan mereka agar aku ke Sidikalang,.?” “apakah memang itu  jawaban atas doa-doa mereka??”. Aku tidak sedang meragukan kebijaksanaan Tuhan waktu itu, namun yang kuragukan adalah kekurangpekaan orang-orang yang sedang mendoakanku untuk menangkap tuntunan Tuhan (sok kali kan ??,, hehehe). Akhirnya setelah ku renung-renungkan, “ya udah deh Tuhan, terserah-Mu aja, klo pun kami keliru menangkap maksud-Mu, biarpun kami gagal, biarlah Kau pakai kekeliruan/kegagalan itu untuk Kemulian-Mu. Kami bisa salah/gagal, namun Kau tak pernah gagal”. Dan sampai sekarang aku terus mencari, bertanya sama Tuhan akan maksud-Nya dalam perjalanan hidupku termasuk di Sidikalang.

Tentang aku dan doa
Ketika saya merenungkan perjalanan doa saya selama saya menjadi orang Kristen, saya menemukan beberapa hal tentang doa. Berbicara tentang doa adalah berbicara tentang relasi, berbicara tentang relasi adalah berbicara tentang status, berbicara tentang status tidak lepas dari identitas diri. Berdoa berarti berkomunikasi dengan Allah. Komunikasi berarti tidak hanya satu arah melainkan terjadi antara dua oknum atau lebih dalam hal ini hubungan antara manusia dengan Allah dan antara Allah dengan manusia. Memiliki identitas sebagai anak-anak Allah adalah suatu sukacita yang sangat luar biasa bagi setiap orang, karena jika kita menjadi anak, berarti kita menjadi ahli waris. Namun sebagai anak, kita memiliki tanggung jawab terhadap Bapa, dan pastinya antara anak dengan bapa akan ada komunikasi. Doa bukanlah sesuatu kata yang asing lagi bagi manusia, terkhusus orang Kristen, apalagi orang-orang yang telah menerima Kristus dalam hidup-Nya dan ambil bagian dalam pelayanan (seperti halnya Perkantas Sidikalang), yang walaupun dalam pelaksanaannya harus jujur secara pribadi saya akui SULIT. Doa bukanlah sebatas meminta dan menerima apa yang kita perlukan dari Tuhan, doa adalah hubungan yang menghasilkan pengenalan dan kasih kepada Allah.

Antara Allah, Musa dan Umat-Nya
Salah satu bagian Firman Allah yang menekankan supaya umat-Nya setia menjaga relasi dengan Dia dalam setiap keadaan, pesan yang mengingatkan supaya manusia tidak melupakan Allah disampaikan dalam salah  satu kitab Taurat yaitu Ulangan 6 : 1 – 15. Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai tema ini, ada baiknya kita mengenali lebih dahulu tentang kitab Ulangan. Kitab Ulangan merupakan salah satu kitab Taurat yang berisi amanat-amanat yang disampaikan Musa kepada orang Israel. Amanat-amanat ini merupakan amanat perpisahan karena ia telah diberitahu bahwa ia tidak dapat memasuki tanah Kanaan bersama mereka. Dalam kitab ini dicatat tiga bagian amanat yang disampaikan Musa kepada orang Israel:
1.     Amanat pertama        : perbuatan Allah (Ul 1 : 6 – 4 : 40)
2.     Amanat kedua           : hukum Allah (Ul 4 : 44 – 26 : 19)
3.     Amanat ketiga           : perjanjian dengan Allah (Ul 29 – 30)

Terlepas dari soal apakah ketiga amanat itu aslinya disampaikan secara isan atau tulisan sebagai dokumen perpisahan, namun secara keseluruhan kitab ini mengemukakan perjanjian Allah dengan orang Israel sebelum memasuki tanah Kanaan. Ringkasan dari Perjanjian Allah dengan Israel dalam kitab ini adalah sebagai berikut :
“Maka sekarang hai orang Israel, apakah yang dimintakan daripadamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkanNya, mengasihi Dia, berbadah kepada TUHAN, Allahmu dengan segenap hati dan dengan segenap jiwamu, berpegang pada ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu” (Ul 10 : 12 – 13).
Ketetapan Musa atas perintah Allah kepada bangsa Israel disampaikan ketika umat Israel hampir tiba tanah Kanaan, tanah yang kaya yang dijanjikan Allah kepada umat yang dikasihin-Nya. Mengingat bahwa Musa tidak akan ikut memasuki tanah tersebut bersama-sama dengan mereka, maka ia menyampaikan ketetapan kepada mereka. Sebab bangsa itu akan memasuki sebuah negeri yang baru. Bangsa itu akan mengakhiri perjalanan panjang 40 tahun yang dalam pikiran mereka tanpa sebuah kepastian. Selesai sudah penderitaan mereka selama dalam perjalanan di padang gurun 40 tahun dalam kekurangan dan keterbatasan. Mereka akan memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan Allah. Mereka akan hidup dalam kecukupan. Mereka akan terbebas dari belenggu perbudakan di tanah Mesir. Mereka akan menghuni, mengelola, memiliki hak milik mereka sendiri. Satu hal yang PASTI adalah Janji Allah akan kekayaan yang akan mereka peroleh.
Musa memberikan beberapa tanda kecukupan yang akan dialami oleh bangsa Israel di tanah Kanaan:
Ulangan 6:10-11
-         Kota-kota besar yang baik yang tidak kau dirikan
-         Rumah-rumah penuh berisi barang baik yang tidak kau isi
-         Sumur-sumur yang tidak kau gali
-         Kebun-kebun anggur dan zaitun yang tidak kau tanami
Ulangan 8:12-13
-         Makanan yang melimpah
-         Rumah yang baik
-         Pertambahan ternak
-         Pertambahan emas dan perak
-         Segala yang ada padamu bertambah  banyak
Dengan kata lain bangsa itu akan menjadi kaya, dan mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa dengan keadaan ini..??
1.     Tentu ia merasa bersyukur, akhirnya bangsa itu tiba di tempat yang dijanjikan Tuhan supaya ia memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Akhirnya apa yang dijanjikan Allah akan tergenapi. Selama 40 tahun ia harus menghadapi keraguan bangsa itu akan janji Allah.
2.     Ia merasa khawatir, kekayaan, kemapanan, kedudukan bukan hanya memiliki dampak positif, tetapi juga negatip. Mengingat bangsa Israel adalah bangsa yang tegar tengkuk, bangsa yang keras kepala. 12 maka hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan Tuhan, yang telah  mebawa kamu keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan.
Dalam kekhawatiran itu, Musa memperingatkan mereka agar tetap setia kepada Allah. Agar mereka tetap beribadah kepada-Nya. Musa merasa takut kalau bangsa Israel akan melupakan penyertaan Tuhan, bahwa Allah-lah yang memberikan semuanya itu kepada mereka. Ulangan 8 : 17 , maka janganlah kau katakan dalam hatimu, kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.

Antara Allah dan Alumni
          Alumni  dengan segala kesibukan masing-masing tidak lepas dari berbagai macam persoalan yang datang dan pergi dalam hidup mereka. Mulai dari tuntutan pekerjaan, keluarga, kesendirian, penantian pasangan hidup, istri/suami, anak-anak dan berbagai hal yang membuat mereka sering terhimpit oleh kesibukan fisik maupun pikiran. Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia alumni adalah dunia yang sesungguhnya, dunia dimana  anak-anak Tuhan benar-benar diuji imannya, berbeda dengan dunia siswa atau mahasiswa yang cenderung masih berada dalam lingkungan komunitas pelayanan dan pengawasan orang tua. Ketika menjadi alumni maka hidup kita bukan lagi hanya tentang diri kita sendiri. Satu hal yang sangat sering menyita perhatian adalah karir. Tuntutan dari atasan, target yang harus dicapai, ketika terhempit antara menjaga kekudusan hidup (integritas)  dengan keadaan yang tidak memberi kita ruang gerak untuk menyatakan kebenaran, atau bahkan kita yang akhirnya tergoda untuk jatuh dalam kecurangan-kecurangan di dunia kerja. Satu hal yang sering terjadi adalah bahwa tidak sedikit alumni menjadi orang-orang selalu dikejar-kejar oleh rasa bersalah karena ketidakmampuannya menjaga kekudusan hidup. Bahkan kesibukan dalam pekerjaan seringkali membuat alumni melupakan ibadah kepada Tuhannya.
          Firman Tuhan kali ini mengingatkan kita akan pentingnya tetap setia menjaga hubungan pribadi dengan Allah. Melalui bangsa Israel, kita diingatkan bahwa Allahlah yang telah memberikan kepada mereka tanah yang kaya akan susu dan madunya, tanah yang menyediakan setiap kebutuhan hidup mereka. Demikian juga dengan kita masing-masing, terlepas dari posisi kita dalam pekerjaan penting bagi kita untuk menyadari bahwa Allahlah yang telah menganugerahkan semua itu kepada kita. Dan sudah pasti haruslah kita kembalikan untuk kemuliaan-Nya.
          Allah mempercayakan pekerjaan untuk kita dengan tujuan untuk kemuliaan-Nya. Seringkali alumni yang dulunya memohon pada Tuhan untuk pekerjaan, namun akhirnya justru pekerjaan itu menjadi penghalang bagi dia untuk bersekutu dengan Tuhan yang memberikannya. Allah telah mendengar teriakan bangsa Israel yang berseru minta tolong di tanah Mesir karena penderitaan mereka dalam perbudakan, sehingga Allah menolong mereka. Saya rasa bagian ini sangat relepan dengan dunia alumni. Ketika kita baru lulus dan mengharapkan pekerjaan, dengan sungguh-sungguh kita memohon kepada Tuhan untuk pekerjaan, berjanji dalam hati akan tetap setia melayani dan tetap menjaga hubungan dengan Dia.
Mari kita evaluasi diri masing-masing, bagaimana sikap kita sebagai alumni saati ini kepada Allah ? Masihkah hubungan dengan Dia masih menjadi prioritas utama dalam hari-hari kita,?. Hal yang sering terjadi dalam kesibukan pekerjaan alumni adalah dengan mengganti waktu untuk Tuhan (doa dan pelayanan) dengan memberi lebih banyak perpuluhan. Apapun dan seberapa banyakpun kita berikan untuk Tuhan, tidak akan dapat menggantikan hubungan kita dengan-Nya. Atau mungkin kita berdoa juga, pergi juga ke gereja, namun pikiran kita sibuk memikirkan berbagai kesibukan pribadi, tidak ada rasa ingin bersekutu dengan Tuhan. Terlihat dari kesibukan kita dalam pelayanan mungkin juga kondisi rohani kita terlihat baik-baik saja, namun sesungguhnya kita mengerjakannya dengan kehampaan, kekeringan batin tanpa sebuah pertumbuhan pengenalan akan Allah.
          Berdoa, memuji dan melayani Tuhan bukanlah tuntutan yang Allah kepada umat-Nya untuk menambah kemuliaan-Nya. Doa-doa atau pelayanan kita tidak akan menambah kemuliaan Allah, sebaliknya jika kitapun tidak berdoa atau tidak melayani-Nya, tentulah tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya, karena sesungguhnya Allah sudah mulia dengan atau tanpa kita. Kita berdoa bukanlah untuk kepentingan Allah, justru untuk kebaikan diri kita sendiri. Yang terjadi adalah banyak orang yang berdoa namun sesungguhnya mereka tidak mengerti mengapa mereka harus berdoa. Dan tidak sedikit yang menjadikan doa sebagai beban yang sulit untuk dikerjakan.
Apa yang ditakutkan Musa ialah terkikisnya kasih bangsa Israel secara perlahan-lahan kepada Allah, atau bahkan mereka akan melupakan Allah sama sekali. Mereka akan merasa bahwa dengan kekuatan mereka sendirilah sehingga mereka sampai di tanah Kanaan. Mereka akan lupa diri karena melimpahnya harta yang ada pada mereka.
Allah menghendaki agar umat-Nya tetap setia beribadah kepada-Nya sama seperti ketika mereka berada di padang gurun, sama seperti ketika mereka berseru kepada Allah untuk setiap kebutuhan mereka di perjalanan menuju Kanaan (Kel 15). Memuji Allah ketika menyaksikan karya-Nya dalam penyeberangan laut Merah. Memuji Dia seperti saat mereka akan menghadapi peperangan dan ketika memenangi peperangan tersebut, Allah yang telah menghalau orang Kanaan, Orang Amori, orang Het, orang Fersis, orang Hewi dan orang Yebus (Kel 33 : 2). Allah menginginkan agar umat pilhan-Nya tetap setia beribadah kepada-Nya ketika mereka tiba di tanah yang diberikan kepada orang Israel, tanah yang akan menyediakan setiap kebutuhan mereka. Perhatikan kata-kata yang bertulis miring, ketika saya merenungkan, mungkin kita sering juga menghadapi hal yang sama, berada dalam padang gurung, dalam perjalanan, penyeberangan, menghadapi berbagai masalah, kemenangan. Barangkali kita sedang berada dalam sebuah pergumulan panjang yang seolah tidak ada jalan keluarnya seperti padang gurun yang tidak berujung dan tidak tau dimana awalnya. Diperhadapkan dengan perjuangan yang panjang, ketika harus membuat pilihan sulit dalan sebuah perjalanan, ketika menghadapi tantangan pekerjaan. Akhirnya kita jenuh, dan rasanya tidak ada lagi gunanya berdoa.
Mari   evaluasi diri kita masing-masing, apakah pekerjaan yang kita kerjakan saat ini perlahan-lahan telah menggantikan posisi Tuhan dalam prioritas kita?? Apakah Doa masih sesuatu yang penting untuk kita kerjakan dalam hari-hari kita?? Apakah Tuhan masih menjadi pribadi yang campur tangan dalam hidup kita.?? Sesungguhnya Dialah yang memberikan pekerjaan, berkat-berkat bahkan seluruh kehidupan kita. Masihkah semua itu kita pusatkan hanya untuk kemuliaan-Nya.??
Mari kita melihat doa seorang tokoh Israel yang sangat terkenal yaitu Daud (1 Tawarikh 17 : 16-27). Daud adalah raja yang diurapi Allah, raja yang mengalami perjalanan panjang sebelum akhirnya menjadi penguasa. Seoarang yang merendahkan diri dihadapan Allah dalam dan menyerahkan sepenuhnya hidup dan kekuasaannya untuk kemuliaan Tuhan. Jika kita melihat pujian-pujian yang ditulisnya dalam kitab Mazmur, jelas kita melihat bagaiamana pengenalannya akan Allah dan dirinya sendiri. Daud adalah raja yang bergantung penuh kepada Allah, dan menyerahkan diri penuh pada kehendak Tuhan. Sekalipin dia telah menduduki kekuasaan sebagai raja, namun ia tidak lupa akan Allah yang memberikan semua itu, bagaimana dengan kita.??

Rabu, 11 Januari 2012

MELAYANI



Yesus telah menjadikan diri-Nya hamba yang sepenuhnya mendedikasikan seluruh hidup-Nya dalam pelayanan di dunia ini. Ketaatan penuh kepada kehendak Bapa di sorga adalah kekuatan yang memampukan Dia menuntaskan pekerjaan pelayanan-Nya. Hidup-Nya sebagai manusia adalah hidup yang melayani, hidup yang menjadi hamba yang sepenuhnya mengerjakan pelayanan bukan untuk diri-Nya sendiri. Dalam perjalanan pelayanan-Nya, Yesus tidak pernah lepas dari hubungan pribadi dengan Bapa-Nya. Hal ini ditunjukkan dengan kesetiaan-Nya mengambil kesempatan untuk berdoa seorang diri. Yesus datang menjadi manusia dan menjadi hamba sebab Dialah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mengerjakan bagian tersebut. Pekerjaan-pekerjaan yang ditetapkan untuk dilakukan-Nya adalah buah dari kedekatan dengan Bapa sorgawi. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Yesus menunjukkan ketaatan penuh untuk mengorbankan seluruh hidup-Nya, kebersamaan dengan keluarga, sanak saudara ditinggalkan-Nya bahkan Dia menjadi yang terendah diantara manusia yang hina.
Murid-murid Yesus melakukan pelayanan adalah sebagai buah dari perjumpaan mereka dengan Tuhan, buah dari kedekatan mereka dengan Yesus selama di dunia ini. Paulus menjadi pekerja Kristus yang luar biasa diawali dengan perjumpaan dengan Tuhan. Dalam pekerjaan pelayanan pemberitaan injil, Paulus merupakan seorang pendoa yang setia, rasul yang sepenuhnya bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Paulus menuliskan bahwa dia dapat melayani Tuhan adalah semata karena kekuatan dari Tuhan, memperlayakkan dia, dan menganggapnya setia bagi Tuhan (1 Timotius 1:12 Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku). Kesadaran inilah yang menjadikan Paulus menjadi seorang yang sangat luar biasa menghasilkan buah yang manis bagi kemuliaan Tuhan. Rasa syukur yang tidak pernah berhenti menjadi bahan bakar yang selalu menyalakan semangatnya. Penyerahan diri penuh kepada Tuhan menjadi tongkat kuat yang selalu menuntun langkahnya melalui rintangan dalam perjalanan pelayanan. Kerendahan hati menjadi suluh menerangi ketika menghadapi banyak kesukaran menghadapi orang-orang yang dilayaninya. Sepenuhnya adalah karya tangan Tuhan dalam keberhasilan pelayanannya.
Pengenalan dan pandangan kita terhadap orang lain akan menentukan bagaimana kita memperlakukan orang tersebut. Siapa Yesus dalam hidup kita ? Sedalam apa kita mengenal Dia ?. Siapa Yesus dalam hidup kita akan mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan-Nya, sedalam apa kita mengenal-Nya. Saya pernah mengajukan pertanyaan kepada beberapa teman-teman mahasiswa di kampus, mereka adalah orang-orang yang belum terlibat dalam pelayanan dan ada juga yang sudah ikut dalam pembinaan kelompok kecil. Siapa Yesus dalam hidup anda? Dari sekitar 50 orang yang saya tanyakan secara keseleruhan mereka menjawab bahwa Yesus adalah “Juruselamatku, penolongku, yang mencukupkan kebutuhanku, sahabatku, tempat perindunganku, penghiburku.” Jawaban mereka tepat, Yesus memang menyediakan semua itu bagi yang mau datang kepada-Nya. Namun tak satu pun diantara mereka yang secara tegas mengatakan bahwa “Yesus adalah Tuhan yang harus kulayani.” Dalam kehidupan ke Kristenan juga banyak orang yang suka mengutip ayat-ayat Alkitab berisi pesan yang meneduhkan, menjanjikan berkat dan mujizat, sedangkan isi yang berupa tantangan , tanggungjawab pelayanan, kewajiban sebagai orang Kristen, yang menegur dan menyatakan kesalahan banyak dihindari. Bahkan dalam berdoapun sering kita hanya menyampaikan permohonan-permohonan untuk kebutuhan pribadi kepada Tuhan. Sebuah kekristenan yang egois.