Dari kejauhan terdengar suara
itu, melengking tajam menusuk telinga, kian lama kian dekat suara itu membuat
bulu-bulu di sekujur tubuh merinding. Nada sendu itu membawa bayangan kematian
di tempat yang dilaluinya. Perlahan ambulance
itu berhenti tepat di depan rumah Balotelli, dengan polos anak itu menirukan
suara sirene sambil menarik tali pengikat mobilannya. Anak itu begitu riang.
Balottelli sedang asik memainkan
mobil-mobilan kayu buatan ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar di sebuah
panglong di kampungnya. Balo sangat membanggakan mobil buatan ayahnya itu,
selain karena ukurannya besar juga memiliki warna yang sangat disukai Balo,
biru muda. Kakanya Irina sedang memanaskan air mandian untuk Balo sore itu
sesuai jadwal yang ditetapkan oleh ibunya, Balo harus mandi pukul empat sore.
Semua orang tersita oleh
tingkahnya yang lucu tak membuat tawa justru menambah lara. Terlihat ibu
Shakira mengenakan tudung hitam hampir menutupi wajahnya, dua sisi tudung
dipegang tangan kanannya mengepal bibirnya. Duka jelas menghujam jiwanya,
matanya bagai buta karena lelah sudah meratap. Peti itu digotong dari dalam mobil disambut histeris khalayak
yang membatu. Irina memecahkan langit dengan histeris tangisnya yang tak
terhalang. Bukan main sedihnya.
Orang-orang berdesakan dalam
rumah sempit berdinding tepas dengan lantai tanah yang sederhana itu.
“tengok suara mobilku sama
kayak mobil itu” Balo menirukan suara sirene membuat semua orng makin menangis.
Irina memeluk adiknya itu kuat-kuat, dengan tangisan pilu yang sangat dalam tak
terukur.
“Bapak kok diantar rame-rame pake
mobil itu, kenapa gak pake mobil Balo aja?” ah, mulut polos ini tak bisa
dihentikan membuat duka semakin dalam.
“Kakak kenapa nangis, kata mama
kalau sudah besar gak boleh nangis,
Balo aja ga nangis”
Semua orang memandangi Balo
dengan tangan di mulut, masing-maing menahan pecahnya histeris. Shakira yang
sudah lelah menangis seperti tak sanggup lagi, tak kuat lagi, kini ia kehabisan
tenaga, air matanya pun sudah tiada, kering sudah memenuhi lautan.
“Bapak kenapa diam aja?” Balo bertanya pada kakanya Irina.
“Bapak lagi bobo sayang” kata
Irina tersendat.
Balotelli memandangi wajah
ayahnya yang sudah tak bernyawa itu, kaku membujur di tengah gubuk kecil buatan
tangannya dua tahun lalu. Kemudian mendekati tubuh yang terbaring tenang sambil
memeluk mobilan di dadanya, dengan jari telunjuknya yang lembut dan mungil ia
menikam-nikam pipi pucat ayahnya.
Balo ingin mengajak ayahnya main
mobil-mobilan seperti biasa mereka lakukan setiap sore setelah ayahnya pulang
kerja.
“Papa bangun, ayok main mobilan”
katanya lirih, menyaksikan itu ibunya makin menangis tak karuan, ia
menyandarkan kepalanya ke dinding anyaman bambu disampingnya. Tak ada yang bisa
dikatakan, tak juga terjelaskan tak juga sanggup untuk mengatakan kebenaran
kalau suaminya sudah meninggal, anak sekecil itu terlalu dini mendengarnya.
“Lihat anakmu ini, dia mengajakmu
main-main.....” Shakira menangis dengan nada duka terlantun dari
kerongkongannya yang sudah mengering, suaranya hampir tak terdengar lagi, habis
sudah.
“uiu..iu..iuuu...uiu..iu..” Balo
memainkan lagi mobilnya.
Irina tak tahan melihat tingkah
adik kecilnya itu, ia memalingkan wajahnya, ia menagis sejadi jadinya,
membentak kejamnya maut telah menjemput pahlawannya. Ia tak rela ayahnya tiada,
ayah yang mengasihinya, ayah yang memperjuangkannya sekuat daya.
“Mobilku ini mobil uiu iu namanya” kata Balo lagi, sungguh
anak itu tidak mengerti apa yang terjadi, anak itu tak menyadari ayahnya sudah
pergi. Tapi baginya mobil itu adalah segalanya.
Suasana mulai hening setelah anak
itu lelah bercanda dengan mobilnya selelah ibunya menahan duka lalu tertidur
nyenyak di pangkuan Shakira.
__o__
Sudah tiga hari setelah jenazah
Drogba dikebumikan rumah masih terasa sepi, tidak ada tanda kehidupan bagai suri. Shakira dan irina masih dirundung
pilu yang tak sudi ditinggal suami dan ayah pergi. Irina menyemangati ibunya
untuk makan nasi telor ceplok dihadapannya, sudah dua hari tak menyentuh
makanan sore itu.
Ia begitu terpukul ditinggal
kekasih yang sangat dicintainya lahir batin, sungguh tak ada yang dapat
menggantikan sosok jenderal poros berputarnya roda hidup di rumahnya. Setelah
enam bulan berjuang melawan virus yang
menggerogoti paru-paru yang didapatnya dari abu kayu di pertukangan.
Semakin timpanglah kini putaran
roda nasib setelah salah satu tak lagi berguna, yang dulunya sudah sulit, kini
makin terhempit, Shakira hanya tukang cuci di warung nasi terminal bus di kota
kecil itu untuk menambah pemasukan keluarga.
Ditatapnya anak-anak cantik dan ganteng
itu penuh lara, ia begitu berduka membayangkan hari depan mereka.
Tahun ini Irina akan masuk SMA,
darimana biaya untuk menyekolahkannya. Dulu Drogba menolak keluarga dekat yang
ingin membawa Irina ke Jakarta untuk disekolahkan. Baginya melepaskan anaknya
pergi untuk disekolahkan orang menyangkut harga diri.
“Kau pikir aku tak sanggup
membiayai sekolah anakku?” katanya waktu itu.
Sosoknya begitu tegas, pekerja
keras dan lugas. Dulu mereka sebenarnya tinggal di Pekanbaru, Drogba bekerja di salah satu perkebunan sawit sebagai mandor,
sayang ia harus pulang kampung karena dipecat dengan alasan melawan kebijakan
atasan menggelapkan tandan berimbas fitnah.
Balotelli melonjak kegirangan
mendengar suara motor butut pak Wenger tetangganya yang baru pulang kerja
sebagai tukang angkat di gudang pupuk pak Anelka samping ayahnya bekerja. Biasa
Drogba nebeng pulang dengan Wenger
tiap sore.
“Ayahku mana?” Balo bertanya pada
pak Wenger. Tak dilihatnya bapaknya di boncengan Wenger seperti biasanya. Wajar
saja ia selalu menanti ayahnya, sore adalah waktu singkat khusus untuk mereka
berdua, pagi sebelum Balo bangun, Drogba pasti sudah tak dilihatnya. Embun
belum lenyap ia sudah berangkat dibonceng Wenger ke tempat kerja yang berjarak
lima kilometer dari rumah.
Pak Wenger memandang Shakira yang
berdiri lesu dibelakang Balo, lidahnya bagai bertulang tak tahu menjawab
pertanyaan anak kecil yang menantikan ayahnya bermain mobilan. Wenger turun
dari motor honda 70 yang suaranya bagai bebek dikejar anjing itu.
Diraihnya anak bungsu sahabat
baiknya itu lalu dirangkul erat bagai anak sendiri. mereka memainkan
mobil-mobilan seperti biasa dilakukan sahabatnya Drogba ketika mereka tiba di
rumah, tentu Wenger sudah hapal.
Shakira hanya memperhatikan dari
jauh dengan kelopak matanya yang sayu, anak itu kegirangan karena Wenger cukup
lihai memperagakan kehadiran Drogba sahabatnya. Senyum Shakira dingin, memang
tak bisa dipaksakan mengikuti ceria anaknya.
Fanni istri Wenger datang
menghampiri Shakira, mencoba menemani wanita lemah itu menikmati senja,
barangkali bisa sedikit memulihkan lara tetangga karibnya.
__ o __
Irina tetap melanjutkan sekolah
ke SMA, ini adalah bulan kedua setelah ia masuk. Ibunya berjanji akan
memperjuangkan nasibnya paling tidak hingga lulus SMA. Shakira tetap bekerja
sebagai tukang cuci piring di terminal bus, tentu karena tak ada pilihan lain.
Malamnya ia pulang membawa makanan sisa yang tidak habis terjual ke rumah untuk
kedua anaknya. Dengan bijak ia menyisihkan ikan untuk besok pagi dipanaskan.
Balotelli tiap hari dititipkan
kepada Fanni yang bekerja sebagi penjahit kecil-kecilan, baginya menjaga
Balotelli dan satu anaknya yang masih kecil bukan masalah, malah senang karena Zeko
anaknya punya teman bermain. Mobil
kesayangannya adalah teman yang tidak terpisahkan dari hari-harinya, mobil
itulah yang membuatnya betah ditinggal ibunya sepanjang hari.
Pulang sekolah Irina langsung ke
toko kelontong pak Mourinho yang menjadi pemasok barang dagangan ke
warung-warung kecil di kota itu. Dorongan iba memotori kehendak pak Mourinho
mempekerjakan Irina untuk menambah pendapatan keluarga, sekaligus menghemat
karena siangnya Irina boleh makan siang disana. Baju ganti selalu dibawanya ke
sekolah sehingga tidak perlu pulang dulu ke rumah sebelum kerja.
Tiap sore Irina pulang bersama
ibunya sebelum senja, tiap sore mereka akan menemui Balotelli asik bermain
mobilan bersama Wenger yang kini menggantikan peran sahabatnya Drogba.
Beruntung sekali Shakira memiliki tetangga seperti Wenger, sahabat suaminya.
Walau tak bisa mengambil peran sebagai suami, baginya sudah cukup kehadiran
Wenger untuk si kecil Balo, Fanni juga tak keberatan suaminya menemani Balo
tiap sore main mobilan bersama Zeko.
Sore itu Shakira tiba di rumah
bersama Irina membawa bungkusan nasi, Irina membawa kerupuk yang diberikan
Mourinho untuk adiknya. Sungguh mereka senang menikmati makanan yang
disedekahkan oleh majikan-majikan yang mengerti nasib keluarga kecil ini.
“Mak, ternyata uiu iu yang membawa bapak itu sirine
namanya” kata Balo sambil menunjukkan sisi bak mobilannya terukir tulisan MOBIL
SIRINE yang ditulis dengan spidol oleh Fabregas abang Zeko yang kelas enam atas
permintaan Balotelli.
Shakira tersenyum tapi matanya
berkaca sambil merangkul anak bungsunya yang manis itu, dibelainya kepala
mungil anak itu dengan mesra. Terlalu dini ia kehilangan sosok ayah yang masih
dibutuhkannya dalam waktu lama.
Mobil Sirine inilah yang menjadi
teman Balotelli tiap hari, ia tumbuh bersama mobil buatan tangan ayahnya,
kehadiran mobil ini seperti mewakili sosok Drogba dalam nadinya. Mobil itu
tidak pernah lepas dari sisinya, Balo menjaga mobil sirine bagai ibunya
menjaganya, tak terpisahkan mereka.
Kehadiran Mobil Sirine ini
pulalah yang menyulut semangat Shakira untuk menjalani hari-harinya,
memperjuangkan kedua anaknya. Suami yang dirindukannya terasa dalam semangat
Balotelli tiap hari menirukan suaranya. Ia kini bisa melepas pergi Drogba, ia
bahagia bersama Irina, Balotelli dan Mobil Sirine suaminya.
“Ma, nanati kalau Balo udah besar, mau jadi sopir mobil Sirine”
Shakira terbangun. Dilihatnya
Drogba mendengkur.