Merenungkan
lagi kematian Kristus dalam peringatan Paskah di tahun ini menjadi kesempatan
yang baik untuk membandingkan pemilihan atas Yesus dengan pemilihan atas wakil
dan presiden republik tercinta ini. Mengintrospeksi kegagalan para calon
pemimpin negeri ini ketika mengiklankan dirinya ke publik agar dipilih, tanpa
malu-malu mebagikan uang demi merebut hati rakyat. Pelanggaran dalam proses
kampanye menjadi awal yang menunjukkan bahwa calon pemimpin tidak akan benar dalam
menjalankan tugsanya sebagai wakil rakyat.
Aturan Main
Keberhasilan
meraih suara dengan cara yang salah adalah kesuksesan yang diraih dengan kegagalan,
kegagalan mengikuti aturan main. Banyak diantara politisi yang berhasil
mengumpulkan suara rakyat dan menjadikannya pemenang pemilu, akan tetapi mereka
tidak berhasil menjalankan demokrasi dengan benar. Yesus akhirnya kalah dalam
“pemungutan suara” bahkan ketika ia bertanding satu lawan satu dengan Barabas
di hadapan Pilatus. Orang banyak lebih memilih melepaskan penjahat yang
sesungguhnya dan mengalahkan orang yang baik. Akan tetapi Yesus dengan benar
memproklamirkan diri sebagai juru selamat, ia tidak pernah gagal menjalankan
“demokrasi” dalam pememilihan waktu itu.
Ketika
menyatakan kebenaran dalam kampanye-Nya, Ia tahu bahwa ada resiko yang harus
ditanggung, penolakan dari manusia. Akan tetapi disinilah letak dari kejujuran
dan integritas-Nya, kemenangan dalam pemilu bukanlah intinya tapi prinsip yang
dipegangnya ketika memperkenalkan diri-Nya. Banyak yang tidak suka dengan
koreksi yang dilakukan Yesus termasuk pembesar Yahudi dan Mahkamah Agama.
Ketika
Ia membagi-bagikan makanan kepada 5000 orang (dalam Yohanes 6:1-15), banyak
orang yang berbondong-bondong mengikut Dia. Ia juga melakukan penyembuhan-penyembuhan
terhadap berbagai penyakit, yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang kusta
dipulihkan, yang mati dibangkitkan. Tetapi di saat yang sama ketika ia
melanjutkan pengajaran, menantang para pengikut itu untuk hidup benar,
meninggalkan dosa-dosanya, mereka satu persatu meninggalkan-Nya (Ayat 60). Uniknya
Yesus tidak meminta kembali apa yang telah Ia berikan kepada masyarakat waktu
itu ketika mereka meninggalkan-Nya seperti politisi sekarang yang menarik
sumbangan atau kompor yang diberikan saat kampanye. Yesus tidak ingin
mengumpulkan orang-orang yang sekedar hanya menjadi pendukung-Nya karena Ia
memanjakan mereka. Namun Ia ingin agar mereka yang datang kepada-Nya adalah
orang-orang yang berkomitmen hidup benar. Berbeda jauh dengan politisi saat ini,
mereka menghalalkan segala cara untuk mendapat dukungan rakyat dalam lima menit
saat pencoblosan. Apa yang mereka perlukan hanyalah tusukan paku ke atas
namanya yang tertera dalam daftar calon anggota DPR, tanpa ada keterhubungan
antara pemilih dan yang dipilih.
Pemimpin
yang bersedia turun ke bawah meninggalkan tahtanya, merasakan apa yang
dirasakan oleh manusia yang dipimpinnya adalah sosok yang dibutuhkan bangsa ini.
Kepemimpinan yang datang ke bawah bukan untuk kepentingan dirinya sendiri
melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kehadiran Yesus ke dunia bukanlah
urusan politik dalam rangka kampanye menarik massa demi kekuasaan-Nya, akan
tetapi demi kepentingan manusia yang membutuhkan keselamatan, pembebasan dari
kematian karena hukuman dosa. “Kampanye” yang disampaikan Yesus berbeda jauh
dengan kampanye politisi negeri ini. Ketika semakin banyak orang yang memilih
Dia, maka orang-orang yang memilih-Nya akan ikut duduk dalam kerajaan-Nya.
Bukan supaya Ia semakin kokoh bertahta dalam kuasa-Nya, sebab tanpa dipilih pun
Ia akan tetap berkuasa sebab ia adalah penguasa. Pemilihan akan Kristus
bukanlah pemilihan legislatif dengan janji kosong, akan tetapi dengan diri-Nya
sebagai jaminan atas janji itu. Politisi di Indonesia mengkampanyekan
janji-janji yang manis kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan sama
seperti Yesus mengkampanyekan keselamatan bagi mereka yang membutuhkan
keselamatan. Akan tetapi berbeda dalam tujuan akhirnya, jika masyarakat memilih
politisi maka mereka akan duduk dalam sebuah jabatan yang menghasilkan uang dan
kekuasaan bagi dirinya sendiri.
Dari
sekian banyak calon legislatip yang maju pada pemilu 2014 mereka adalah
orang-orang dari golongan “orang berada”. Orang-orang dengan modal milyaran
rupiah, artinya golongan atas yang sesungguhnya sudah memiliki kehidupan jauh
dari kata layak. Sama seperti Kristus yang turun ke bumi, Ia adalah raja yang
memiliki tahta kerajaan yang Maha Tinggi. Akan tetapi Ia datang bukan karena
kurang kerjaan atau kurang ketenaran, kedatangan-Nya adalah karena manusia
membutuhkan. Ia “blusukan” ke bumi adalah wujud dari penyataan diri-Nya kepada
umat yang dikasihi-Nya, ia merasakan bagaimana kehidupan seperti manusia biasa.
Sangat disayangkan begitu banyak yang mereka “korbankan” demi meraih kursi di
pemerintahan namun dijalankan dengan cara yang salah. Jika sesuatu sudah
dimulai dengan salah, maka kecil kemungkinannya ia akan berjalan dengan benar
dan berakhir dengan benar pula. Sayangnya masyarakat yang membutuhkan
pertolongan untuk keluar dari jurang kemiskinan, ketidakberdayaan alat peraga
yang cukup jitu diandalkan saat berkampanye, uang lima puluh ribu cukup untuk
menyenangkan hati mereka. Meski Yesus tahu bahwa manusia itu sangat membutuhkan
Juru Selamat, namun Ia tidak memanfaatkan kebutuhan itu untuk “kemenangan-Nya”
malah banyak yang menolak dan akhirnya menyalibkan Dia.
Bersedia Dianggap Salah
Yesus
disalibkan pada akhirnya bukanlah karena Ia salah, namun karena Ia dianggap
salah oleh manusia yang buta akan kebenaran. Ia bersedia dianggap salah sekalipun
benar, di negeri ini jangankan bersedia dianggap salah, bahkan saat salah pun
mereka menganggap diri benar. Puncaknya adalah ketika Ia akhirnya mati
disalibkan, saat itulah masyarakat menyadari kebenaran-Nya dan menyadari
kesalahan mereka. Ketika rakyat tidak lagi mengenal kebenaran, ketika rakyat
tidak lagi dapat membedakan pemimpin yang benar dan salah, Yesus tidak
mengikuti arus itu demi mencapai ambisi pribadi-Nya mengumpulkan massa. Ia
tetap bertahan pada kebenaran yang harus Ia sampaikan sekalipun melawan arah.
Yesus bisa saja mencari aman dengan tidak mengoreksi kesalahan orang Farisi dan
Ahli Taurat, Ia bisa saja memanja-manjakan masyarakat dengan membagi-bagikan
makanan dengan membuat lima roti dan dua ikan menjadi lebih dari cukup untuk lima
ribu orang.
Mewakili Rakyat
Prinsip
kasih dan keadilan Allah berjalan dan terpenuhi ketika Yesus berinkarnasi
menjadi manusia seperti kita. Kasih berarti tidak ingin kehilangan orang yang
dikasihi, adil berarti menghukum yang salah, membebaskan yang benar. Allah yang
sedemikian mengasihi manusia tidak ingin mereka binasa. Allah yang adalah adil
tidak ingin mengingkari keadilan-Nya dengan membiarkan manusia yang melakukan
kejahatan bebas begitu saja. Maka kehadiran Yesus adalah jawabannya, keadilan
yang harusnya dijalankan dengan menghukum manusia berdosa itu, Yesuslah yang
menanggungnya, dan manusia itu pun bebas dari hukuman (kebinasaan) maka
berjalanlah kasih-Nya. Di negeri yang keadilan telah menjadi barang dagangan,
kasih menjadi komoditi langka ini, dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu
menjalankan kedua hal ini dengan baik. Kepemimpinan yang tidak mengarahkan
pelayanan untuk dirinya sendiri namun untuk orang-orang yang ia pimpin dan
layani. Yesus menjadi “wakil rakyat” memikul penderitaan di kayu salib agar
mereka yang mempercayai-Nya selamat. Ia mewakili mereka memikul beban di
pundaknya, menahan sakit di tangan dan kaki-Nya ketika paku menembusnya. DPR
adalah wakil rakyat yang seharusnya mewakili rakyat memikul penderitaan mereka,
memikul sengsara mereka karena kemiskinan, karena ketidakberdayaan. Semoga
mereka yang terpilih mengingat apa yang mereka janjikan saat kampanye.