[googlef074d64e99d80ece.html]

Rabu, 07 Mei 2014

Paskah : Politik Kampanye Yesus

Merenungkan lagi kematian Kristus dalam peringatan Paskah di tahun ini menjadi kesempatan yang baik untuk membandingkan pemilihan atas Yesus dengan pemilihan atas wakil dan presiden republik tercinta ini. Mengintrospeksi kegagalan para calon pemimpin negeri ini ketika mengiklankan dirinya ke publik agar dipilih, tanpa malu-malu mebagikan uang demi merebut hati rakyat. Pelanggaran dalam proses kampanye menjadi awal yang menunjukkan bahwa calon pemimpin tidak akan benar dalam menjalankan tugsanya sebagai wakil rakyat.
Aturan Main
Keberhasilan meraih suara dengan cara yang salah adalah kesuksesan yang diraih dengan kegagalan, kegagalan mengikuti aturan main. Banyak diantara politisi yang berhasil mengumpulkan suara rakyat dan menjadikannya pemenang pemilu, akan tetapi mereka tidak berhasil menjalankan demokrasi dengan benar. Yesus akhirnya kalah dalam “pemungutan suara” bahkan ketika ia bertanding satu lawan satu dengan Barabas di hadapan Pilatus. Orang banyak lebih memilih melepaskan penjahat yang sesungguhnya dan mengalahkan orang yang baik. Akan tetapi Yesus dengan benar memproklamirkan diri sebagai juru selamat, ia tidak pernah gagal menjalankan “demokrasi” dalam pememilihan waktu itu.
Ketika menyatakan kebenaran dalam kampanye-Nya, Ia tahu bahwa ada resiko yang harus ditanggung, penolakan dari manusia. Akan tetapi disinilah letak dari kejujuran dan integritas-Nya, kemenangan dalam pemilu bukanlah intinya tapi prinsip yang dipegangnya ketika memperkenalkan diri-Nya. Banyak yang tidak suka dengan koreksi yang dilakukan Yesus termasuk pembesar Yahudi dan Mahkamah Agama.
Ketika Ia membagi-bagikan makanan kepada 5000 orang (dalam Yohanes 6:1-15), banyak orang yang berbondong-bondong mengikut Dia. Ia juga melakukan penyembuhan-penyembuhan terhadap berbagai penyakit, yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang kusta dipulihkan, yang mati dibangkitkan. Tetapi di saat yang sama ketika ia melanjutkan pengajaran, menantang para pengikut itu untuk hidup benar, meninggalkan dosa-dosanya, mereka satu persatu meninggalkan-Nya (Ayat 60). Uniknya Yesus tidak meminta kembali apa yang telah Ia berikan kepada masyarakat waktu itu ketika mereka meninggalkan-Nya seperti politisi sekarang yang menarik sumbangan atau kompor yang diberikan saat kampanye. Yesus tidak ingin mengumpulkan orang-orang yang sekedar hanya menjadi pendukung-Nya karena Ia memanjakan mereka. Namun Ia ingin agar mereka yang datang kepada-Nya adalah orang-orang yang berkomitmen hidup benar. Berbeda jauh dengan politisi saat ini, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapat dukungan rakyat dalam lima menit saat pencoblosan. Apa yang mereka perlukan hanyalah tusukan paku ke atas namanya yang tertera dalam daftar calon anggota DPR, tanpa ada keterhubungan antara pemilih dan yang dipilih.
Pemimpin yang bersedia turun ke bawah meninggalkan tahtanya, merasakan apa yang dirasakan oleh manusia yang dipimpinnya adalah sosok yang dibutuhkan bangsa ini. Kepemimpinan yang datang ke bawah bukan untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kehadiran Yesus ke dunia bukanlah urusan politik dalam rangka kampanye menarik massa demi kekuasaan-Nya, akan tetapi demi kepentingan manusia yang membutuhkan keselamatan, pembebasan dari kematian karena hukuman dosa. “Kampanye” yang disampaikan Yesus berbeda jauh dengan kampanye politisi negeri ini. Ketika semakin banyak orang yang memilih Dia, maka orang-orang yang memilih-Nya akan ikut duduk dalam kerajaan-Nya. Bukan supaya Ia semakin kokoh bertahta dalam kuasa-Nya, sebab tanpa dipilih pun Ia akan tetap berkuasa sebab ia adalah penguasa. Pemilihan akan Kristus bukanlah pemilihan legislatif dengan janji kosong, akan tetapi dengan diri-Nya sebagai jaminan atas janji itu. Politisi di Indonesia mengkampanyekan janji-janji yang manis kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan sama seperti Yesus mengkampanyekan keselamatan bagi mereka yang membutuhkan keselamatan. Akan tetapi berbeda dalam tujuan akhirnya, jika masyarakat memilih politisi maka mereka akan duduk dalam sebuah jabatan yang menghasilkan uang dan kekuasaan bagi dirinya sendiri.
Dari sekian banyak calon legislatip yang maju pada pemilu 2014 mereka adalah orang-orang dari golongan “orang berada”. Orang-orang dengan modal milyaran rupiah, artinya golongan atas yang sesungguhnya sudah memiliki kehidupan jauh dari kata layak. Sama seperti Kristus yang turun ke bumi, Ia adalah raja yang memiliki tahta kerajaan yang Maha Tinggi. Akan tetapi Ia datang bukan karena kurang kerjaan atau kurang ketenaran, kedatangan-Nya adalah karena manusia membutuhkan. Ia “blusukan” ke bumi adalah wujud dari penyataan diri-Nya kepada umat yang dikasihi-Nya, ia merasakan bagaimana kehidupan seperti manusia biasa. Sangat disayangkan begitu banyak yang mereka “korbankan” demi meraih kursi di pemerintahan namun dijalankan dengan cara yang salah. Jika sesuatu sudah dimulai dengan salah, maka kecil kemungkinannya ia akan berjalan dengan benar dan berakhir dengan benar pula. Sayangnya masyarakat yang membutuhkan pertolongan untuk keluar dari jurang kemiskinan, ketidakberdayaan alat peraga yang cukup jitu diandalkan saat berkampanye, uang lima puluh ribu cukup untuk menyenangkan hati mereka. Meski Yesus tahu bahwa manusia itu sangat membutuhkan Juru Selamat, namun Ia tidak memanfaatkan kebutuhan itu untuk “kemenangan-Nya” malah banyak yang menolak dan akhirnya menyalibkan Dia.
Bersedia Dianggap Salah
Yesus disalibkan pada akhirnya bukanlah karena Ia salah, namun karena Ia dianggap salah oleh manusia yang buta akan kebenaran. Ia bersedia dianggap salah sekalipun benar, di negeri ini jangankan bersedia dianggap salah, bahkan saat salah pun mereka menganggap diri benar. Puncaknya adalah ketika Ia akhirnya mati disalibkan, saat itulah masyarakat menyadari kebenaran-Nya dan menyadari kesalahan mereka. Ketika rakyat tidak lagi mengenal kebenaran, ketika rakyat tidak lagi dapat membedakan pemimpin yang benar dan salah, Yesus tidak mengikuti arus itu demi mencapai ambisi pribadi-Nya mengumpulkan massa. Ia tetap bertahan pada kebenaran yang harus Ia sampaikan sekalipun melawan arah. Yesus bisa saja mencari aman dengan tidak mengoreksi kesalahan orang Farisi dan Ahli Taurat, Ia bisa saja memanja-manjakan masyarakat dengan membagi-bagikan makanan dengan membuat lima roti dan dua ikan menjadi lebih dari cukup untuk lima ribu orang.   
Mewakili Rakyat

Prinsip kasih dan keadilan Allah berjalan dan terpenuhi ketika Yesus berinkarnasi menjadi manusia seperti kita. Kasih berarti tidak ingin kehilangan orang yang dikasihi, adil berarti menghukum yang salah, membebaskan yang benar. Allah yang sedemikian mengasihi manusia tidak ingin mereka binasa. Allah yang adalah adil tidak ingin mengingkari keadilan-Nya dengan membiarkan manusia yang melakukan kejahatan bebas begitu saja. Maka kehadiran Yesus adalah jawabannya, keadilan yang harusnya dijalankan dengan menghukum manusia berdosa itu, Yesuslah yang menanggungnya, dan manusia itu pun bebas dari hukuman (kebinasaan) maka berjalanlah kasih-Nya. Di negeri yang keadilan telah menjadi barang dagangan, kasih menjadi komoditi langka ini, dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu menjalankan kedua hal ini dengan baik. Kepemimpinan yang tidak mengarahkan pelayanan untuk dirinya sendiri namun untuk orang-orang yang ia pimpin dan layani. Yesus menjadi “wakil rakyat” memikul penderitaan di kayu salib agar mereka yang mempercayai-Nya selamat. Ia mewakili mereka memikul beban di pundaknya, menahan sakit di tangan dan kaki-Nya ketika paku menembusnya. DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya mewakili rakyat memikul penderitaan mereka, memikul sengsara mereka karena kemiskinan, karena ketidakberdayaan. Semoga mereka yang terpilih mengingat apa yang mereka janjikan saat kampanye.

Rabu, 05 Februari 2014

Hati-hati Dengan Pernikahan Dini



Kehidupan cinta sering menjadi sebuah trek yang melelahkan untuk dilalui, berliku, mendaki, terjal dan penuh tantangan. Tak jarang membuat mereka yang tak sanggup melaluinya terpaksa mundur, bukan hanya itu, banyak yang jatuh dari tebing dan tergeletak. Betapa menyakitkan memang jika kita tidak sanggup menggapai cinta yang sudah diidamkan. Ibarat menantang terjalnya dakian, hanya orang yang benar-benar telah mempersiapkan dirilah yang mampu menghadapinya. Menghadapi dalam artian bukan hanya berhasil meraihnya, namun mereka benar-benar mempersiapkan diri. Orang yang tahu bagaimana rasanya mendaki sebuah tebing, sangat paham kapan waktunya untuk mundur, sebelum mereka benar-benar jatuh.

Bagi sebagian orang gunung adalah keindahan yang ingin ia sentuh, betapa menakjubkan mereka memandangnya dari kejauhan. Keindahan itu menggoda mereka untuk datang ke sana, menikmatinya. Namun godaan untuk menikmati keindahan gunung itu sering membuat manusia lupa betapa gunung itu dihuni oleh berbagai tumbuhan liar yang bisa menghambat, di dalamnya hidup berbagai makhluk yang bisa membahayakan. Mereka terkecoh oleh indahnya gunung dari jauh.

Banyak orang yang merindukan pernikahan, merindukan kekasih untuk mendampingi hidup menjalani kehidupan. Mereka memandang pernikahan itu begitu nikmat untuk dijalani dan dimiliki. Seperti keindahan sebuah gunung, pernikahan itu sering menjadi sebuah pemandangan yang cukup menggairahkan untuk segera dinikmati. Tanpa menyadari betapa banyaknya tantangan yang harus dihadapi saat menjalaninya. Maka tidak sedikit orang yang gagal karena di tengah jalan, bahkan masih di kaki bukit pernikahan.

Orang-orang sering lupa bahwa menjalani pernikahan itu adalah kebahiaan tiada tara, asal sudah berdua maka tidak akan ada lagi kesusahan. Betapa menyenangkan membayangkan kita berdiri di puncak gunung, memandang luas keindahan di bawahnya dan berteriak sekuat-kuatnya. Sungguh indah. Apa yang paling indah selain membayangkan tiap hari ketemu dengan orang yang kita cintai, bersam-sama tinggal dalam satu rumah, saling memanja.

Maka mereka yang tak sabar segera memutuskan untuk pacaran lalu menikah, mereka sungguh merasa bahwa diri mereka sangat siap. Modalnya adalah saling mencintai. Mereka merasa bahwa taka ada yang bisa menandingi cinta, tak ada yang bisa memisahkannya. Dimulailah perjalanan bersama oleh sepasang kekasih yang dilanda asmara. Apa yang terjadi di dalam perjalanannya sangat mudah ditebak. Indah, menyenangkan menikmati cinta berdua, tak ada yang bisa menggantikannya, tapi hanya bertahan seumur jagung.

Pengenalan yang dangkal
Karakter yang bertentangan mulai terlihat sebab mereka tidak mempersiapkan diri sebelum bepergian, mereka berpikir perjalanan hanya sehari, seminggu, setahun, atau lima tahun. Mereka berpikir jalanan lurus dan datar, mereka tidak menjalani latihan fisik sebelumnya sehingga mereka kebal, mereka tidak memeriksa diri sebelum berangkat.

Diperlukan latihan fisik sehingga kita benar-benar fit saat akan mendaki sebuah gunung, perlu memeriksa kondisi kesehatan kita sebelum bepergian jauh. Pasangan yang menikah tanpa mengenal diri mereka masing-masing, sangat rentan terhadap kehancuran. Bukan tantangan dari luar yang membuat mereka terpecah, tapi dari dalam diri mereka sendiri. Sebab mereka belum saling mengenal secara mendalam, usia pacaran mereka cukup singkat. Dalam perjalanannya mereka juga hanya menunjukkan sifat-sifat pribadi yang baik kepada kekasihnya. Sehingga ketika mereka menikah, keburukan-keburukan mulai terlihat. Apa yang terjadi? Mereka terkejut, tak menyangka pasangannya ternyata tidak seperti yang mereka lihat sebelum mereka menikah. Pengenalan mereka sangat dangkal.

Dunia ini bukanlah milik berdua
Orang yang dilanda cinta memang merasa bahwa dunia ini hanya milik berdua, yang lain ngontrak. Hal tersebut ada benarnya, namun hanya berlaku sebentar ketika gelora cinta pada posisi yang masih membara. Ketika sudah menikah, maka yang ada memang hanya aku dan pasanganku, tidak bisa lagi ada yang lain mengisi. Tapi berapa banyak pria atau wanita yang menyesal setelah menikah? Melihat bagaimana sebenarnya “asli” dari pasangannya setelah keburukan-keburukannya keluar, tak sedikit yang merasa telah salah menilai selama ini. Ternyata dia tak sesempurna yang diduga.

Hal inilah yang menimbulkan godaan untuk “melihat” ke luar, mencari yang lebih baik, mencoba memuaskan emosi yang terkejut karena sudah salah menilai. Awalnya memang mereka hanya melihat-lihat dan berkata “harusnya seperti yang ini” ketika mereka melihat seseorang di luar sana. Jika mental atau emosi tidak kuat untuk ditahan, maka tidak jarang mereka akan mencoba-coba melupakan status mereka yang telah menikah. Hal yang mulai muncul adalah bentakan yang kemudian meningkat menjadi kekerasan dalam rumah tangga. Maka dunia bukan lagi milik anda berdua.

Bukan berarti gunung tidak indah
Jika kegagalan dalam pernikahan telah dialami, saat itulah mereka mengatakan betapa pernikahan itu menyakitkan, betapa pernikahan itu tidak indah. Harusnya, pernikahan itu indah dan menyenangkan. Sebab kita tidak lagi sendiri menjalani hidup, tidak lagi sendiri mengerjakan segala sesuatu, sendiri memikirkan sesuatu, harusnya hidup semakin maksimal setelah menikah. Hanya saja kita sering tidak berhasil mencapai keindahan pernikahan itu karena kita tidak mempersiapkan diri untuk meraihnya. Bekal kita sangat minim sehingga tak cukup untuk menikmati betapa baiknya cinta yang menyatu dalam pernikahan itu dirancang oleh yang Maha Kuasa.

Jika ada orang yang meninggal karena jatuh dari tebing saat mendaki gunung, bukan berarti gunung itu tidak lagi indah. Akan tetapi kesiapan si pendakilah yang kurang sehingga ia tidak sanggup mencapai puncak. Kegagalannya menghadapi tantanganlah yang membuat ia tidak berhasil menikmati keindahan gunung itu. Demikian halnya pernikahan, pasti indah.